Dalam Penelitian ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) menemukan Masalah Penelitian itu sangat menentukan keberhasilan penelitian. Bila sudah menemukan masalah penelitian maka 50 % proses penelitian sudah terlaksana secara baik. Tinggal menyelesaikan tahapan kajian teori/memakai teori yang relevan dan analisis data serta kesimpulannya. Dalam postingan ini, saya memposting masalah penelitian tentang efektivitas Pendidikan Agama Kristen dan Pembentukan karakter masyarakat.
Apa itu efektivitas? Efektivitas adalah suatu kondisi atau keadaan, dimana dalam memilih tujuan yang hendak dicapai dan sarana yang digunakan, serta kemampuan yang dimiliki adalah tepat, sehingga tujuan yang diinginkan dapat dicapai dengan hasil yang memuaskan. Jadi, efektivitas adalah suatu ukuran pencapaian atau tingkat keberhasilan seseorang atau orgnaisasi dalam upaya mencapai tujuan atau sasaran. Dalam hal ini efektivitas menunjukkan ketercapaian tujuan yang terlebih dahulu ditentukan. Dengan kata lain, efektivitas merupakan suatu konsep yang menggambarkan tentang keberhasilan suatu usaha dalam mencapai tujuannya.
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa tujuan menjadi pokok pertama dan utama dari sebuah kegiatan, khususnya proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang hendak dibahas disini yakni efektivitas Pendidikan Agama Kristen. Efektivitas Pendidikan Agama Kristen diukur dari tercapainya tujuan Pendidikan Agama Kristen yang telah ditetapkan. Artinya Pendidikan Agama Kristen yang dilakukan sejak zaman Perjanjian Baru sampai dengan gereja dan lembaga Pendidikan masa kini tentu didasarkan pada tujuan yang hendak dicapai.
Dalam Perjanjian Baru, Yesus memanggil murid-murid dengan tujuan yang jelas yaitu menjadikan mereka sebagai penjala manusia (Mat. 4:19). Berdasarkan ayat ini nampak jelas bahwa Yesus memanggil murid-murid-Nya dengan tujuan yang jelas. Selanjutnya gereja melaksanakan Pendidikan Agama Kristen berdasarkan tujuan. Orientasi mencapai tujuan seperti inilah yang disebut dengan Efektivitas Pendidikan Agama Kristen.
Uraian di atas menegaskan bahwa usaha orang dewasa memberi tuntunan kepada orang yang belum dewasa yang biasa disebut dengan istilah edukasi yaitu pendidikan dilakukan dengan memiliki tujuan yang jelas. Tidak ada pendidikan yang tidak memiliki tujuan. Semua bentuk pendidikan memiliki tujuan. Oleh karena itu maka perlu ada sejumlah kegiatan yang dilakukan dalam tindakan edukatif untuk mencapai tujuan tersebut. Tindakan edukasi seperti ini dilakukan oleh seorang pendidik kepada seseorang atau sekelompok anak sehingga memiliki kecakapan hidup.
Tindakan sebagaimana yang dimaksud di atas dalam lingkup Pendidikan Agama Kristen dilakukan oleh para guru. Guru-guru yang melaksanakan pendidikan Kristen memiliki pengaruh positif terhadap perilaku anak. Pengaruh ini bukan berasal dari diri guru Pendidikan Agama Kristen melainkan di dalam karya Roh Kudus. Hanya Roh Kudus yang dapat berkarya dalam diri para guru dan anak didik sehingga terjadilah perubahan. Perubahan ini dalam dunia pendidikan disebut dengan istilah perubahan kognitif, afektif dan psikomotorik.
Pendidikan yang memberi perubahan adalah pendidikan yang berlangsung dalam pimpinan Roh Kudus yang didasarkan pada ajaran Yesus. Dalam pendidikan ada unsur keteladanan hidup dan pengajaran. Keteladanan dan pengajaran itu telah dilakukan oleh Yesus. Yesus sebelum terangkat ke sorga, Ia memberi perintah kepada murid-murid-Nya untuk melakukan pengajaran yang menolong orang lain untuk melakukan kehendak-Nya. Hal ini ditegaskan dalam Matius 28:10,20. Ajaran Yesus dalam ayat ini menyatakan: “...ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu ...” (Mat. 28:10,20)
Perintah Yesus kepada murid-murid-Nya jelas yaitu mengajar untuk melakukan apa yang diajarkan Yesus. Yesus menghendaki agar setiap orang hidup dalam perilaku yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan yaitu segala yang baik yang harus dilakukan oleh orang percaya. Kelakuan orang percaya harus sesuai dengan kehendak Tuhan.
Berdasarkan perintah Yesus sebagaimana yang disebutkan di atas menjadi jelas bahwa setiap orang Kristen, khususnya peserta didik harus diajar untuk melakukan apa yang diajarkan oleh Yesus. Masalah yang muncul yakni terjadinya penyimpangan karakter di masyarakat. Penyimpangan karakter yang dimaksud yaitu munculnya perilaku atau sifat-sifat yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Norma yang berlaku dalam masyarakat dapat diklasifikasikan dalam beberapa norma, yaitu norma umum dalam masyarakat, dan norma agama sesuai dengan penganut keyakinan tersebut. Dalam Agama Kristen, selain ada norma umum, orang Kristen mempunyai norma sesuai dengan ajaran Alkitab. Norma-norma ini harus diikuti oleh anggota masyarakat. Bila tidak dituruti maka seseorang dapat dikatakan menyimpang dari norma.
Fakta menunjukkan bahwa di masyarakat terjadi berbagai penyimpangan karakter. Beberapa penyimpangan karakter yang terjadi di masyarakat yang menjadi sorotan dunia bahkan di Indonesia baru-baru ini yakni perilaku Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender yang disingkat LGBT. Di Amerika Serikat misalnya mahkamah Agung telah menyatakan bahwa pasangan sejenis mempunyai hak untuk melakukan pernikahan sejenis (www.bbc.com). Sementara di Indonesia, belum ada pengesahan untuk pernikahan sejenis. Namun fakta bahwa LGBT ada di Indonesia tidak dapat disangkali.
Fakta adanya LGBT di Indonesia dapat membawa berbagai penafsiran terhadap LGBT. Apakah LGBT itu legal. Artinya tidak menyimpang dari norma umum maupun norma Agama. Dalam pertanyaan yang lebih spesifik. Apakah LGBT bertentangan dengan Alkitab atau tidak?. Apakah Alkitab menghendaki agar sesama jenis dapat menikah.? Di Amerikan hal ini diperbolehkan. Namun bagaimana dengan Indonesia, khususnya dalam Gereja. Gereja adalah pelaku Pendidikan Agama Kristen. Bagaimana gereja melakukan Pendidikan Agama terhadap LGBT?. Bila LGBT adalah penyimpangan perilaku di masyarakat maka bagaimana efektivitas Pendidikan Agama Kristen ?
Penyimpangan perilaku tersebut di atas dapat saja mempengaruhi orang Kristen dari berbagai tingkat usia, baik yang ada di sekolah seperti usia SD, SMP, SLTA, Perguruan Tinggi maupun anggota masyarakat yang telah bekerja. Tidak menutup kemungkinan anggota gerejapun dapat melakukan penyimpangan karakter dalam hal lesbian, gay, biseksual, dan transgender.
LGBT sebagaimana yang dideskripsikan di atas merupakan fenomena dalam masyarakat dan dapat dikategorikan sebagai penyimpangan karakter. Namun penyimpangan karakter itu tidak hanya sebatas LGBT. Akan tetapi penyimpangan tersebut berhubungan dengan perilaku yang lain. Misalnya dalam suatu “kasus massal yang terkuak di media masa yaitu seorang guru yang seharusnya memberi contoh yang baik kepada siswa justru menyuruh murid yang paling pintar di kelas untuk memberikan contekan kepada teman-temannya.” (Azzet, Muhaimin, 2011:5)
Kasus yang disebut di atas merupakan penyimpangan karakter dalam hal kurangnya keteladanan pendidik yang seharusnya menjadi panutan siswa dan masyarakat. Kasus menyontek tersebut di atas menunjukkan bahwa pendidikan karakter bangsa Indonesia terus menerus dilaksanakan, salah satunya perlu ada karakter yang baik dari para guru yang mengajar siswa. Siswa (peserta didik) sehingga tidak hanya mencerdaskan siswa secara intelektual (kemampuan kognitif) dan emosional, namun juga karakternya perlu dibangun atau dibentuk agar kelak menjadi pribadi yang unggul dalam karakter yang baik.
Di Indonesia juga sedang digalakkan pendidikan karakter. Pendidikan karakter hanya dapat berhasil bila guru yang mengajar juga berhasil dalam karakter yang baik. Daniel Stefanus menyatakan bahwa pendidikan agama yang dilakukan selama ini di Indonesia bukan pendidikan melainkan pengajaran agama. Menurut Daniel Stefanus, prinsip pendidikan agama seharusnya merupakan upaya menginternalisasi nilai agama pada peserta didik. Namun kenyataannya, pendidikan agama di sekolah hanya merupakan pelajaran yang berorientasi pada kognitif yaitu pelajaran menghafal ajaran agama. Hasilnya pendidikan agama di sekolah hanya mampu membawa peserta didik memperoleh nilai bagus dalam pelaksanaan ujian. Pendidikan Agama di Sekolah tidak mampu menampilkan perbaikan karakter. Korupsi tetap merajalela, penyalahgunaan wewenang dan ketidakadilan semakin marak, tawuran pelajar, penyalahgunaan narkotika di kalangan pelajar. Semua ini menunjukkan lemahnya pendidikan karakter. (Daniel Stefanus, 2009:94-95)
Penyimpangan karakter di masyarakat juga meliputi praktik ketidakjujuran, kecurangan, dan juga ketidakadilan dalam berbagai bidang politik, sosial, dan termasuk bidang pendidikan. Kecurangan pendidikan misalnya adanya bantuan kepada siswa pada saat ujian nasional berupa jawaban yang diberikan sekolah.
Berbagai penyimpangan karakter yang terjadi di masyarakat menyebabkan munculnya pendidikan karakter. Pendidikan Agama yang diharapkan dapat menolong perubahan karakter juga dinilai tidak berjalan secara efektif. Pendidikan Agama dianggap gagal atau kurang efektif terhadap perilaku anak. Daniel Stefanus mengutip pendapat Haidar Bagir yang menilai kegagalan pendidikan agama di Indonesia dalam beberapa aspek, yaitu :
“Pertama, pendidikan agama di Indonesia selama ini ditenggarai masih berpusat pada hal-hal-hal yang bersifat simbolik, ritualistik dan legal formalistik. Pelaksana Pendidikan Agama merasa puas dengan mengenakan simbol-simbol keagamaan, penghayatan keagamaan yang berpusat pada pelaksanaan ritual. Wacana pemikiran sering bersifat legal formalistik, yakni halal atau haram menurut hukum agama. Sangat mengutamakan ibadah tanpa mau tahu keadaan dan kesengsaraan yang menimpa lingkungan sekitarnya. Pendidikan agama juga cenderung bertumpu pada penggarapan ranah kognitif atau pada hal-hal yang menekankan kemampuan intelektual atau hanya sekedar menyentuh ranah afektif (emosional). Akibatnya peserta didik di negeri ini memiliki pengetahuan, kesadaran yang tercipta karena memiliki pengetahuan intelektual dan memiliki keinginan untuk berbuat oleh adanya dorongan emosional tetapi tidak benar-benar diwujudkan dalam tindakan nyata akibat pendidikan agama yang tidak menyentuh ranah psikomotorik. Secara kenyataan, banyak di antara penganut agama senang mendengar ceramah/khotbah, mengikuti kursus-kursus keagamaan, suka berdiskusi dan berdebat mengenai berbagai isu keagamaan tetapi tidak ada wujud nyata dalam kenyataan hidup sehari-hari, atau kurang memberi teladan hidup. Pendidikan agama yang baik harus menggarap tiga ranah kemanusiaan, yaitu kognitif (intelektual), afektif (emosional), dan psikomotorik atau ketrampilan (Daniel Stefanus, 2009:91-94)
Jadi, pendidikan Agama Kristen harus meliputi tiga ranah dalam diri peserta didik yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Dengan kata lain pendidikan Kristen tidak hanya menekankan satu sisi dalam tiga domain.
Pendidikan Agama sebagaimana yang dimaksud di atas, khususnya di sekolah dianggap tidak berhasil meningkatkan etika dan moralitas peserta didik, atau dengan kata lain pendidikan agama di sekolah belum terlalu signifikan mempengaruhi karakter siswa di sekolah.
Akibatnya pendidikan agama di sekolah hanya mampu menghasilkan siswa mendapat nilai bagus dalam ujian. Pendidikan agama di sekolah tidak mampu mempengaruhi perbaikan moral.
Pendidikan merupakan kebutuhan mendasar dalam kehidupan manusia. Karena dari pendidikan tidak hanya memperoleh ilmu pengetahuan atau informasi, tetapi sebagai proses transfer dan pembentukan karakter dan kerohanian manusia dari generasi ke generasi. Pendidikan itu memiliki kegunaan yang tidak dapat dipungkiri. Oleh karena itu Nicholas P. mengatakan bahwa : “Manusia adalah makhluk yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan”. (Nicholas, P. 2007:4). Ini berarti manusia membutuhkan informasi, perkembangan kehidupan yang lebih baik. Untuk mencapai maksud itu maka pendidikan merupakan pilihannya. Sebab tanpa pendidikan mustahil manusia mengalami perkembangan hidup ke arah yang lebih baik.
Menyadari bahwa pendidikan itu penting bagi keberlangsungan kehidupan manusia dalam dunia ini. Kebutuhan akan sarana-sarana penunjang di bidang pendidikan menjadi sesuatu yang sangat penting dan untuk itu maka sarana-sarana penunjang tersebut harus menjadi prioritas. Salah satu sarana untuk memperoleh pendidikan adalah sekolah. Di sekolah guru sebagai pemegang peran membawa pencerahan bagi peserta didik dan peserta didik sebagai objek mendapat nilai tinggi di masyarakat.
Seorang Guru dalam memberi teladan dapat melaksanakannya melalui pendidikan dan pengajaran agama Kristen secara serempak sehingga berdampak bagi pembentukan karakter peserta didik. Guru harus menunjukkan keteladanan itu. Keteladanan Guru begitu penting, hal ini menegaskan bahwa seorang yang menyandang predikat Guru selalu dituntut suatu pola hidup yang berhubungan dengan cara hidup dan pertanggungjawaban moral yang berkaitan dengan teladan hidup, tuntutan kesucian, dan kebijakan dalam kenyataan hidup setiap hari. Salah satu pertanggungjawaban moral seorang Guru Pendidikan Agama Kristen kesediaan memberi keteladanan hidup kepada siswanya. Keteladanan Guru memiliki pengaruh yang tidak terbatas, berpengaruh bagi siswa dan juga masyarakat umum. Akan kebenaran ini, Isjoni menyatakan: “Seorang yang berstatus guru tidak selamanya menjaga wibawa dan citra sebagai guru secara baik di mata peserta didik dan masyarakat. Media massa cetak maupun elektronik sering memberitakan tentang berbagai kasus tindakan asusila, asosial, dan amoral yang dilakukan oleh oknum guru” (Isjoni, 2007:60).
Keburukan karakteristik guru sebagaimana yang dimaksud dalam kutipan di atas pastilah menodai dunia pendidikan. Oleh karena itu maka guru termasuk guru terus berjuang dalam pengajaran dan pendidikan atau memberi ilmu pengetahuan agama dan mendidik yaitu memberi teladan akan apa yang telah diajarkan. Dua hal di atas yaitu pengajaran dan pendidikan mesti dilakukan oleh guru. Akan kebenaran dalam hal mengajar dan mendidik yang dilakukan guru, Plueddemann menyatakan: “Guru Pendidikan Agama Kristen mengajar dengan dua cara melalui perkataan dan melalui kehidupan”. (Kure, S. & Plueddemann, J., 1997:60). Melalui perkataan yaitu memberi pengajaran dan melalui kehidupan yaitu keteladanan.
Jadi, Guru diharapkan untuk tidak hanya mampu menyampaikan konsep-konsep atau teori-teori sebatas pengetahuan, tetapi lebih dari pada itu harus mampu menerapkannya atau melaksnanakannya dalam kehidupan atau tingkah lakunya. Kekuatan dari pengajaran dan pendidikan atau perkataan dan keteladanan nampak dalam pendapat.
Jika seorang mengajarkan sesuatu tetapi tidak dilakukannya, peserta didik tidak akan belajar dengan sungguh-sungguh. Oleh karena tanpa keteladanan dari guru peserta didik akan kecewa, kehilangan figur atau peserta didik akan melakukan bukan apa yang diajarkan, tetapi apa yang dilakukan oleh guru, sebab peserta didik merupakan peniru yang ulung (Kure, S. & Plueddemann, J., 1997:8)
Dalam praktiknya, sering terjadi bahwa sebahagian guru menjalankan tugasnya hanya sebatas profesi dan kurang didukung dengan keteladanan yang menjadi panutan bagi siswa. Dengan kata lain kurang ada tanggung jawab moral untuk mengaktualisasikan pengajarannya dalam kehidupan nyata seorang guru. Ini berarti seorang guru semestinya bukan hanya sebatas memberikan teori tetapi juga melaksanakan teori yang diajarkannya. Teori yang disampaikan adalah berhubungan dengan pendidikan Kristen yang bersumber dari Alkitab maka penting untuk diterapkan sehingga memberi pengaruh pada pembentukan karakter siswa.
E. Mulyasa walaupun bukan guru pendidikan Kristen tetapi memberi suatu kebenaran pernyataan tentang keteladanan dengan menyatakan: “Seorang guru ketika harus mengajarkan kebenaran, maka terlebih dahulu ia mesti menjadi teladan bagi peserta didik. Keteladanan guru merupakan sifat dasar kegiatan pembelajaran dan ketika guru tidak mau menerima atau menggunakannya secara konstruktif, maka akan mengurangi keefektifan pembelajaran” (E. Mulyasa, 2005:46).
Berdasarkan masalah-masalah tersebut di atas maka penulis merumuskan judul penelitian: Pengaruh efektivitas Pendidikan Agama Kristen terhadap Pembentukan Karakter di Masyarakat
Salam Sukses