Blog ini berisi info pendidikan, tidak diperkenankan tampilan iklan dewasa. Silakan Baca Postingan baru 2024 tentang judul-judul penelitian mahasiswa dan masalah penelitian. Dilarang Keras Mengkopi Paste Artikel dalam Blog ini tanpa izin pemilik blog. Bila Anda mengkopi paste, saya akan laporkan ke DMCA dan blog Anda dapat dihapus.Copi paste dapat diketahui melalui www.google.co.id/. Selamat Paskah 2024. Imanuel

Sponsor

Sponsor

Wednesday, July 20, 2016

Ikuti judul Skripsi dan Tesis Bidang Teologi Kependetaan

Judul Variabel Penelitian Teologi. Bagi Mereka yang sedang mencari inspirasi untuk mendapatkan judul-judul penelitian dalam tataran Skripsi maupun Tesis untuk konsentrasi Teologi Kependetaan dapat memperhatikan beberapa rumusan variabel-variabel penelitian teologi sbb:
1. Kualitas Pelayanan Sekolah Minggu Terhadap Pembentukan Karakter Anak usia 6-8 tahun Tetap
2. Efektifitas program pelayanan wanita bijak dan pembentukan karakter wanita bijakKualitas Pelayanan Wanita Terhadap Pembentukan Karakter Anak
3. Peranan Guru PAK dalam Apologetika terapan Terhadap Kualitas Pengetahuan Anak dalam Doktrin Trinitas
4. Implementasi Evaluasi Teologis Pemikiran Edukatif Robert M. Gagne dalam Proses Pembelajaran PAK
5. Kualitas Mengajar Guru Pendidikan Agama Kristen Terhadap Minat Peserta Didik Studi Lanjut Ke Sekolah Tinggi Teologi
6. Kualitas Pelayanan Wanita Terhadap Pertumbuhan Gereja di Desa Tertinggal
7. Implementasi Model Apologetika Paulus di Areopagus Terhadap Doktrin Allah Tritunggal dalam Masyarakat Multikultural
8. MAKNA TEOLOGIS PENCOBAAN MENURUT YAKOBUS 1:12-15 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDETA DI PELAYANAN PEDESAAN
9. Khotbah Eksegesis Terhadap Tingkat Pemahaman Jemaat Tentang Kehidupan di Balik Kematian Menurut I Samuel 28:14
10. Menafsir Yohanes 8:30-37 dalam Spiral Hermeneutika
11. Spiral Hermeneutika Terhadap Pro dan Kotra Tentang Memanggil Roh Samuel Menurut I Samuel 28:1-25

Contoh Masalah Penelitian
Masalah penelitian yang diposting beriktu ini diambil dari teks Yohanes. Teks tersebut dapat diteliti secara eksegesis maupun secara pendekatan teologi. Silakan memilih pendekatan mana yang paling sesuai dengan kompetensi. Bila punya kemampuan Bahasa Yunani maka sebaiknya memilih pendekatan eksegesis, bila satu dan lain hal, misalnya karena kesibukan pelayanan atau asalan lainnya maka ANda dapat memakai pendekatan teologis. Jadi tidak harus eksegesis. Namun perlu memperhatikan kajian eksegesis yang sudah dihasilkan oleh para pakar biblika.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam Narasi Kejadian pasal 1 – 2, penulis kitab Kejadian menampilkan histori dari apa yang disebut dengan “kebenaran”. Manusia ditampilkan dalam kehidupan yang sesuai dengan esensi penciptaan manusia sebagai segambar dan serupa dengan Allah. Kebenaran dalam konteks kehidupan manusia pertama yaitu Adam dan Hawa tidak lain adalah kehidupan manusia pertama yang hidup dan berinteraksi dalam karakter sebagai gambar dan rupa Allah. Mereka hidup dalam kejujuran, ketaatan pada sang pemberi sabda.
Namun memasuki narasi Kejadian pasal 3, penulis kitab Kejadian menyampaikan narasi tentang manusia yang bergeser dari “kebenaran”. Manusia yang berada dalam kebenaran mulai bergeser dari kebenaran. Pergeseran karakter ini disebut dengan dosa. Tindakan ini berlanjut dalam perkembangan manusia.
Manusia yang berdosa berada dalam perhambaan dosa. Segala kecenderungan hati manusia lebih kepada pelanggaran-pelanggaran terhadap Tuhan dan sesama. Kain membunuh adiknya karena Kain diperbudak /dikuasai dosa. Tujuan pendirian Menara Babel menjadi salah satu bukti penyimpangan dari kebenaran. Dosa menjadi sebab penyimpangan yang dilakukan manusia. Argumentasi teologis ini dapat diperhatikan dalam evaluasi teologis Arthur F. Holmes, (2009:88) yang menyatakan: “semua penyakit dan bencana alam, peperangan, kriminalitas, permasalahan ekonomi, perpecahan keluarga, dan penyelewengan seksual, menjadi akibat ketidaktaatan terhadap Allah”.
Sejak kejatuhan manusia dalam dosa, manusia menjadi hamba dosa atau diperbudak dosa. Manusia pertama dan keturunannya terpecah kedalam berbagai kelompok manusia, yakni ada kelompok yang tidak percaya kepada Tuhan dan ada pula kelompok yang percaya kepada Tuhan. Kelompok ini dalam Perjanjian Lama disebut bangsa Israel. Manusia memang diperhamba oleh dosa tetapi Tuhan memilih satu bangsa yang disebut bangsa Israel. Pemilihan bangsa ini untuk memperkenalkan tentang kebenaran itu. Dengan kata lain pemilihan bangsa Israel dimaksudkan untuk menyatakan bahwa ada satu bangsa yang dipilih Tuhan agar hidupnya berkenaan atau benar di hadapan hokum Allah. Akibat pilihan itu, bangsa Israel menganggap dirinya bangsa yang tidak diperbudak oleh siapapun. Keyakinan seperti it uterus berkembang dalam diri orang-orang Yahudi termasuk murid-murid Yesus pada waktu itu. Suasana yang demikian dapat dipahami dalam paparan Injil Yohanes 8:30-37 yang akan menjadi focus penelitian ini.
Dalam filsafat ada berbagai pandangan tentang kebenaran menurut teori korespondensi, koherensi, pragmatis, religious dan sintaksis, consensus dan lain-lain. Misalnya, menurut teori Korespondensi (The Correspondence Theory of Thruth), kebenaran adalah pernyataan-pernyataan yang berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Teori yang lain tentu punya argumentasi sendiri.
Deskripsi di atas menunjukkan bahwa kebenaran selalu menjadi perhatian dan usaha manusia untuk mencapai kebenaran itu. Jika demikian apakah kebenaran itu berguna bagi manusia. Apakah kebenaran itu dapat membebaskan manusia dari perbudakan dosa? Jika kebenaran-kebenaran sebagaimana yang disebutkan di atas tidak mampu menolong manusia dari dosa maka kebenaran seperti apa yang dibicarakan dalam Injil Yohanes?
Dalam Injil Yohanes 8:30-37, Yesus mengemukakan pokok yang penting tentang kebenaran yang memerdekakan. Murid-murid Yesus yang berlatar belakang Yahudi tidak memahami diri mereka sebagai orang-orang yang diperbudak oleh siapapun. Mereka menganggap diri keturunan Abraham, suatu keturunan yang tidak dapat diperbudak oleh siapapun. Jadi tidak ada konsep perbudakan terhadap diri murid-murid. Demikianlah konsep orang-orang Yahudi yang mendengar ajaran Yesus.
John M. Frame menyebutkan beberapa teori tentang kebenaran menurut kitab suci yaitu : kebenaran metafisik yaitu yang benar adalah yang mutlak dan lengkap, bukan yang relative dan merupakan bagian (bnd. Yoh. 6:32, 35, :15:1, 17:3, kebenaran dalam pengertian epistemologis yaitu kebenaran berarti apa yang benar (bnd. Ul. 17:4, I Raja-raja 10:6, Efesus 4:24, kebenaran proposisional dan kebenaran dalam pengertian etis yaitu berjalan dalam kebenaran yakni melakukan apa yang benar (bnd. Yer. 9:33, Maz. 15:2, 25:5. Demikianlah beberapa kebenaran yang dikemukakan oleh Frame.(1999:81)
Jika demikian apa sesungguhnya yang dimaksud oleh Yesus tentang kebenaran yang memerdekakan dalam Yohanes 8:30-37? Apakah kebenaran filosofis yaitu suatu kebenaran yang menekankan tentang kemampuan berpikir secara mendalam atau berpikir secara radikal untuk mencapai akar persoalan yang dipermasalahkan sehingga menemukan kebenaran.(Rapar, 1996:21). Jadi arah berpikir filosofis adalah pencarian kebenaran dimana kebenaran adalah persesuaian pengetahuan dengan realitas. Jika demikian apakah kebenaran yang memerdekakan dalam Yohanes 8:30-37 dapat diartikan dalam konteks kebenaran filsafat?. Konsep klaim Kristen mula-mula yang menyatakan bahwa semua kebenaran adalah kebenaran Allah dimanapun itu ditemukan.(Arthur F. Holmes, 2009:59). Jika benar demikian maka apakah kebenaran ilmu pengetahuan, kebenaran filsafat, kebenaran agama-agama lain dapat memerdekakan manusia dari perhambaan dosa. Beberapa tokoh gereja mula-mula seperti Yustinus Martir menyatakan: agama Kristen adalah pemenuhan dari segala yang terbaik dalam filsafat Yunani, Clemens dari Alexandria menyatakan: “kebenaran dalam filsafat Yunani dianggap sebagai persiapan orang Yunani bagi Yesus Kristus sama seperti Perjanjian Lama mempersiapkan orang Yahudi. (Tony Lane, 2007:7,8,14)
Apakah ungkapan Yesus itu dapat menunjuk pada kebenaran secara umum yang diakui oleh manusia, atau kebenaran seperti apa yang dimaksudkan dalam ungkapan Yesus tentang kebenaran yang memerdekakan. Pertanyaan selanjutnya yaitu siapakah yang menawan atau menjajah manusia sehingga perlu ada pembebasan atau kemerdekaan dari tawanan tersebut. Adakah dosa dapat dipahami sebagai penjajajahan atau perbudakan sehingga manusia yang hidup dalam dosa adalah manusia yang belum merdeka? Jadi kebenran apa yang dimaksudkan dalam ungkapan Yesus?
Berdasarkan paparan masalah di atas, maka variabel penelitian tesis ini dirumuskan menjadi: “Tinjauan Teologis-Biblika Tentang Kebenaran Yang Memerdekakan Menurut Yohanes 8:30-37.

Selain masalah penelitian di atas, saya posting artikel tentang topik berikut ini untuk menjadi bacaan komunitas Teologi

Analisis Historis: Krisis di Galatia: Bacaan Edukasi Teologis Biblika
Sesudah melayani selama sekitar satu setengah tahun di Korintus – tempat dari mana ia menulis surat 1 dan 2 Tesalonika – Paulus menyeberangi laut Aegea, singgah sebentar di Efesus, kemudian menyusuri bagian timur laut Mediterania, melalui Yudea, dan akhirnya menuju gereja multi-etnis di Siria Antiokhia (bnd. Kis. 18:18-22). Sesudah itu (Kis. 18:23), Paulus berangkat ke Efesus melewati Galatia dan Frigia. Paulus dan Barnabas sebelumnya telah mengunjungi wilayah-wilayah ini dalam perjalanan sebelumnya ketika mereka memberitakan Injil di bawah pengutusan gereja di Antiokhia (Kis. 13:1 – 14:28). Paulus juga sudah pernah mengunjungi wilayah-wilayah ini secara singkat bersama Silas dan Timotius (Kis. 16:6). Namun kini, ia memberi kunjungan substansial bagi gereja-gereja di wilayah Galatia dan Frigia di mana ia berupaya keras dari satu tempat ke tempat lainnya untuk “meneguhkan hati semua murid” (Kis. 18:23).
Sangat mungkin dalam kunjungan inilah Paulus mulai menyadari adanya masalah besar yang kemudian mendorongnya menulis surat ini kepada jemaat-jemaat di bagian selatan yang merupakan bagian dari provinsi Romawi yang disebut Galatia. Gereja-gereja di wilayah ini terdapat di beberapa kota, yaitu: Derbe, Listra, Ikonium, dan Pisida Antiokhia. Biasanya para sarjana yang menganut pandangan bahwa Paulus menulis surat Galatia sesudah sidang di Yerusalem (Kis. 15) mengasumsikan bahwa Paulus menuliskan surat ini bagi gereja-gereja di antara suku-suku Galatia yang berdomisili di bagian utara provinsi Galatia; mis. J.B. Lightfoot, Saint Paul’s Epistle to the Galatians (London: Macmillan, 1902), 1-56. Sementara itu, para sarjana yang percaya bahwa surat Galatia ditulis sebelum sidang di Yerusalem (Kis. 15), mengasumsikan bahwa Paulus menulis surat ini bagi jemaat-jemaat di bagian selatan provinsi Galatia
Paulus menulis surat ini sesudah ia tiba di Efesus (Kis. 19:1) karena ia mendapati bahwa para pengacau Gal. 1:7; bnd. 5:10) telah menjangkau wilayah Galatia dan mengajarkan suatu injil yang berbeda dari injil yang diajarkan oleh Paulus. Paulus menyebut injil yang ajarkan para pengacau itu sebagai “bukan injil” sama sekali (1:7). Tujuan para pengacau itu jelas: mereka ingin agar orang-orang percaya non Yahudi hidup sebagai orang Yahudi yang memelihara hukum-hukum Musa (4:21; 5:1) dan secara khusus menerima sunat (5:2-3; 6:12-13; bnd. 2:3). Kita juga bisa menyimpulkan dari deskripsi argumen Paulus dengan Petrus mengenai makan bersama di Antiokhia (2:11-14) dan dari penyebutannya mengenai pemeliharaan akan hari-hari tertentu dalam kalender Yahudi (4:10) bahwa selain menekankan sunat, para pengacau itu juga menekankan tentang hukum pantang terhadap makanan-makanan tertentu dan pemeliharaan terhadap Sabat Yahudi.

2 comments:

Note: Only a member of this blog may post a comment.