Iman adalah Pengakuan akan
Kebenaran Allah
Pemahaman
tentang iman dapat diperluas pengertian, yaitu iman adalah percaya atau
pengkuan akan kebenaran Allah. Perjanajian Lama menyaksikan bahwa Allah disebut sebagai “Allah yang setia”atau
Allah kebenaran” (Yes. 65:16; Mzm.
31:6). Jadi, pengakuan akan kebenaran Allah berarti mengakui Allah. Allah
adalah sumber kebenaran. Iman menolong orang percaya untuk meyakini kebenaran
itu. Pemazmur menyatakan bahwa orang yang boleh ada di kemah Tuhan adalah orang
yang berlaku tidak bercela, yang melakukan
apa yang adil, dan yang mengatakan kebenaran dengan segenap hati” (bnd.
Maz. 15: 2). Nabi Yeremia menyatakan dalam doanya “ya Tuhan, tidakkan mata-Mu
terarah kepada kebenaran?” (Yer. 5:3). Frasa “terarah” dalam ayat ini mengandung makna mencari
atau merindukan. Ini berarti Allah yang benar memiliki sifat untuk mencari dan
merindukan kebenaran dan hati yang benar dari umat-Nya. (David
Iman Santoso, 2007:52-64). Pemazmur menyatakan matanya tertuju kepada kasih setia Tuhan, dan ia sendiri berusaha
hidup dalam kebenaran Tuhan (bnd. Maz. 26:3).
Sedangkan
dalam Perjanjian Baru, Yohanes menyatakan bahwa Allah sebagai “satu-satunya
Allah yang benar” (bnd. 17:3). Umat-Nya dipanggil
untuk menyembah Allah dalam roh dan kebenaran (bnd. Yoh. 4:24). Selanjutnya
dalam Yohanes 8:40 Yesus menyatakan bahwa Ia menyatakan kebenaran yang Yesus
dengar dari Allah. Hal ini menegaskan bahwa kebenaran itu adalah Allah tetapi
Allah yang dimaksudkan disini adalah Allah yang memperkenalkan diri kepada Abraham,
kepada Musa dan didalam Yesus Kristus, jadi Allah tidak dalam arti konsep illah
yang disembah di dunia Arab sebelum Islam.
Alkitab
menyaksikan bahwa Allah adalah sumber kebenaran. Oleh karena itu Gereja
mula-mula mengklaim segala kebenaran adalah kebenaran Allah, di manapun ia
ditemukan. Pemahaman ini dilatarbelakangi oleh sebuah hipotesa yang menyatakan
nahwa jika Allah adalah Pencipta yang kekal dan yang maha bijaksana dari segala
sesuatu, sebagaimana ditegaskan oleh orang Kristen, maka hikmat Allah yang
kreatif itu merupakan sumber dan norma semua kebenaran mengenai segala sesuatu.
Hipotesa ini dilanjutkan dengan argument
bahwa karena Allah dan hikmat-Nya tidak
berubah, maka kebenaran itu tidak berubah dan kebenaran itu bersifat universal.
Dengan demikian semua kebenaran adalah kebenaran Allah, dan Dia memahami
sepenuhnya kaitan semuanya, maka
kebenaran itu menyatu dalam pengertian Allah yang sempurna.(
Arthur F. Holmes , 2009: 20-31)
Gereja
mengakui bahwa semua kebenaran mengenai segala sesuatu adalah milik TUHAN. Oleh
karena itu harus diakui bahwa semua yang diakui orang sebagai kebenaran adalah
kebenaran Allah.Dalam hal ini Iman adalah Pengakuan akan Kebenaran Allah maka segala
kebenaran harus diakui sebagai berasal dari Allah.
Bila
dikatakan bahwa segala kebenaran adalah kebenaranh Allah, ini tidak berarti
semua kebenaran itu terkandung di
Alkitab atau dapat disimpulkan dari Alkitab. Kekristenan historis
mempercayai kebenaran Alkitab, tetapi bukan sebagai penyataan yang lengkap
menganai segala sesuatu yang ingin diketahui manusia, tetapi sebagai tuntunan
yang sufisiensi iman dan perilaku umat Allah.
Iman dalam diri
seseorang akan mendorong seseorang untuk mempercayai kebenaran Allah. Untuk itu
orang percaya harus berdoa untuk memiliki iman, dan supaya iman seseorang dapat
bertumbuh. Iman juga akan diperkuat dengan selalu mengingat janji-janji Allah
Tritunggal yang berulangkali diucapkan dalam doa-doa orang percaya kepada Bapa,
dalam nama-Nya, pasti akan dijawab kalau orang percaya memintanya dengan iman,
dan percaya sewaktu orang percaya memintanya.
Dalam Matius
7:7; Lukas 11:9; Yohanes 14:13, 15, 16; Yakobus 4:2; I Yohanes 3:22, 5:14;
Lukas 11:10. Iman adalah pekerjaan jiwa yang dengannya
orang percaya akan kepastian keberadaan dan
kebenaran dari sesuatu yang tidak ada di depan orang
percaya,
atau tidak tampak.bagi indera manusia. Setiap orang menilai iman secara
berbeda, yang akan dirasanya sukar bahkan tidak mungkin untuk menunjukkannya
dengan cara-cara yang tampak. Ini merupakan hal mempraktikan iman - latihan
sukarela - yang memampukan orang percaya untuk
bertambah dalam mempercayai kebenaran-kebenaran besar yang Allah berkenan
nyatakan.
- Iman adalah Pengakuan Kewibawaan Firman-Nya
Abraham takluk pada kewibawaan TUHAN yang
berfirman kepadanya. Dengan kata lain Abraham mendengarkan dan menuruti firman
Tuhan. Abraham mendengar Tuhan berbicara kepadanya.
Hal senada diungkapkan Bavinck, bahwa
jemaat dahulu kala belum mempunyai kitab Perjanjian Baru, sehingga dalam
pertemuan-pertemuan jemaat mereka membahas soal-soal Perjanjian Lama kemudian
diceritakanlah beberapa kenang-kenangan tentang Yesus dan pekerjaan-Nya (J.H.Bavink, 1977:339)
Jadi, tulisan-tulisan pengajaran Tuhan
Yesus setelah beredar, dipakai oleh Gereja mula-mula sebagai firman Allah
disamping Perjanjian Lama. Selanjutnya Alkitab adalah firman Allah yang
berotoritas. Dalam hal ini iman Kristen adalah pengakuan
kewibawaan akan firman-Nya (Alkitab). Artinya
apa yang disaksikan dalam firman Tuhan walaupun tidak masuk akal namun diyakini
kebenarannya. Rasu; Paulus menyatakan "sebab hidup kami ini adalah
hidup karena percaya, bukan karena melihat" (II Kor. 5:7). Yesus sendiri
berfirman (Yoh. 20:29), "Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun
percaya". Dengan demikian, sementara mempercayai apa yang orang percaya lihat dan pahami akan mendatangkan manfaat, percaya
pada apa yang tidak terlihat dan hanya dipahami secara samar-samar mendatangkan
manfaat yang lebih besar.
Ada
banyak hal di alam semesta ini yang kita percayai, tanpa harus orang percaya
pahami sepenuhnya; orang percaya yakin karena ia mendapatkan buktinya dari
orang lain, meskipun bukan dari panca indera orang percaya itu sendiri. Iman
yang begitu saja percaya pada apa yang bisa ia lihat, pahami, jelaskan dan
tunjukkan sama sekali bukan iman. "Tidak seorang pun melihat Allah",
akan tetapi semua orang percaya kepada Allah. Hal-hal dalam dunia rohani tidak
dapat ditunjukkan melalui perantara-perantara materiil, melainkan hanya bisa
melalui perantara-perantara rohani. Menggunakan iman akan meningkatkan
kerohanian orang percaya, memampukan kita memahami
berbagai hal yang tanpa latihan semacam ini tidak akan terpahami.
- Iman sebagai Dasar Pembenaran Manusia Berdosa
Manusia yang berdosa tidak dapat dinyatakan benar dihadapan Allah yang
Maha Kudus. TUHAN adalah sang kebenaran sedangkan manusia telah berbuat
kesalahan. Manusia tidak hidup dalam kesemurnaan sebagaimana yang dinyatakan
dalam Kejadian pasal 1 dan 2. Manusia yang berdosa perlu pembenaran di hadapan
Allah.
Firman
Tuhan menyatakan: “Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah.
Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan
bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia.”
(Ibrani 11:6).
Sebagai
orang percaya, iman orang percaya dibangun di atas fondasi keberadaaan Allah,
dan perlakuanNya terhadap orang yang mencariNya berbeda dengan perlakuanNya
terhadap orang yang tidak mencariNya. Segera setelah benar-benar mempercayai
kedua hal itu, orang percaya mulai menyenangkan Allah, karena kita segera
mencariNya. Makna dari mencari Allah adalah (1) mempelajari kehendakNya, (2)
menaatiNya, dan (3) percaya janji-janjiNya. Ketiga makna itu hendaknya menjadi
komponen perjalanan kita sehari-hari.
Yesus memberi
contoh orang yang beriman kepada Allah, dan Ia mengharapkan murid-murid-Nya
untuk meneladaniNya. Demikian juga, pelayan pemuridan harus berupaya untuk
menjadi teladan kesetiaan dalam Tuhan, dan mengajarkan murid-muridnya untuk
percaya kepada janji-janji Tuhan. Hal ini sangat penting. Orang percaya mustahil menyenangkan Allah tanpa iman, dan juga
mustahil menerima jawaban doa-doa tanpa iman (lihat Matius 21:22; Yakobus
1:5-8). Alkitab jelas mengajarkan bahwa orang yang ragu-ragu takkan mendapat
berkat-berkat yang diterima oleh orang percaya. Yesus berkata, “Tidak ada yang
mustahil bagi orang yang percaya” (Markus 9:23).
- Iman adalah dasar harapan dan bukti yang tidak kelihatan
Penulis Ibrani
mendefinisikan iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan
bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibrani 11:1). Berdasarkan
definisi ini ada beberapa karakteristik iman, yaitu:
Pertama, orang
beriman mendapatkan jaminan atau kepercayaan diri. Iman berbeda dengan
pengharapan, karena iman adalah “dasar dari segala sesuatu yang menjadi dasar
harapkan.” Pengharapan selalu memberi peluang kepada keraguan. Pengharapan
dimulai dengan “semoga.” Misalnya, saya dapat berkata, “Saya harap hari ini
hujan sehingga kebunku akan terairi.” Saya ingin hujan turun, tetapi saya tidak
yakin apakah hari ini hujan akan turun. Di lain pihak, iman selalu yakin,
“dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan.”
Hal yang disebut
sebagai iman atau keyakinan sering bukanlah iman menurut definisi Alkitab.
Misalnya, orang mungkin memperhatikan awan gelap di langit, dan berkata, “Saya
percaya hari ini hujan akan turun.” Tetapi, ia tidak yakin pasti bahwa hujan
akan turun ia hanya berpikir ada peluang besar hujan mungkin akan turun. Ini
bukanlah iman menurut Alkitab. Iman menurut Alkitab tidak mengandung unsur
keraguan. Iman tak memberikan ruang bagi hasil apapun selain hal yang Tuhan
sudah janjikan.
Iman bukanlah
wilayah yang tak terlihat. Misalnya, kepercayaan adanya malaikat, walaupun
tidak melihat malaikat tetapi yakin adanya malaikat. Dalam kasus ini seseorang
tidak merasakan atau mendengar malaikat terbang. Itulah iman
Jadi, apa yang
membuat seseorang percaya akan kehadiran malaikat? Jawabanya yakni keyakinan
yang didasarkan pada salah satu janji Allah. Dalam Mazmur 34:8, Ia berjanji,
“Malaikat TUHAN berkemah di sekeliling orang-orang yang takut akan Dia, lalu
meluputkan mereka.” Saya tidak punya bukti untuk kepercayaan saya selain Firman
Tuhan. Inilah iman sejati menurut Alkitab. Inilah bukti dari segala sesuatu
yang tidak dilihat lihat.” Iman dalam surat Ibrani 11:1 berbeda dengan
pernyataan umum lihat dulu baru percaya. Namun dalam dimensi iman Kristiani
yang didasarkan pada firman Allah, berlaku hal sebaliknya: “Percaya dulu baru
melihat.”
Janji Allah
sedemikian banyak seperti disaksikan dalam Alkitab. Janji-janji itu diimani.
Janji-janji firman Tuhan tidak untuk diragukan kebenarannya, memang ada waktu
dimana muncul perasaan meragukan firman atau merasa ragu dan melewati waktu
ketika keadaan tampak seolah-olah Allah tak memenuhi janji Allah karena
keadaan yang tidak berubah. Dalam
keadaan demikian, orang percaya perlu melawan rasa ragu, menjaga dengan iman,
dan tetap yakin di dalam hati bahwa Allah selalu memenuhi janjiNya. Tak mungkin
Allah berdusta (bnd. Titus 1:2).