Variabel Keteladanan Orangtua
Keluarga adalah pewujud kehendak Allah. Banyak pasal dalam Alkitab yang dapat dijadikan dasar yang kuat untuk membuktikan bahwa keluarga adalah penyelamat dunia. Keluaran 2 menceritakan tentang kelahiran Musa. Bangsa Israel yang mengalami penindasan oleh bangsa Mesir akhirnya diselamatkan Tuhan melalui Musa. Demikian pula Hakim-hakim 13 menceritakan latar belakang kelahiran Simson yang membawa pembebasan bangsa Israel atas dari penindasan bangsa Filistin. Alkitab selalu menulis proses kelahiran seseorang (bahkan kelahiran Yesus Kristus) untuk menyelamatkan suatu bangsa. Dari beberapa contoh ini dapat disimpulkan bahwa keluarga di mata Tuhan merupakan suatu lembaga yang dipersiapkan untuk menyelamatkan bangsa/dunia, oleh karenanya, orangtua harus berperan maksimal dalam keluarga.
1. Konsep Keteladan Orangtua
Meniru, dinamis dan berkreasi merupakan karakteristik anak. Pembentukan perilaku anak terjadi melalui peniruan dari apa yang anak saksikan di sekitarnya. Anak selalu terdorong untuk aktif melakukan berbagai aktivitas dalam eksplorasi diri dan lingkungannya. Begitu pula anak selalu aktif untuk melakukan berbagai kegiatan yang mungkin sifatnya baru dan ingin mencoba. Hal itu terjadi karena besarnya dorongan anak untuk mengenal segala sesuatu di lingkungannya.
Berkaitan dengan karakteristik di atas, dalam memberikan pendidikan kepada anak, orangtua hendaknya menjadi sumber keteladanan bagi anak. Anak akan dengan mudah mengikuti apa yang dilakukan orangtuanya baik melalui perkataan maupun perbuatan; oleh karenanya orangtua harus selalu memberikan contoh hidup sebagai keteladanan baik berupa dorongan maupun motivasi untuk melakukan hal-hal yang positif dan menghindari hal-hal yang negatif.
Mendidik anak merupakan salah satu tugas kewajiban orangtua sebagai konsekwensi dari komitmennya untuk membina rumah tangga melalui pernikahan. Anak yang lahir ke dunia pada hakikatnya merupakan titipan dari Tuhan kepada orangtua untuk dididik dan disiapkan bagi peranannya di masa yang akan datang. Kondisi dan kualitas kehidupan seseorang, khususnya seorang anak di masa yang akan datang sangat bergantung pada sejauh mana orang tua telah menanamkan investasinya melalui teladan hidup bagi anak-anaknya. Orangtua yang akan menikmati kebahagiaan di hari tuanya adalah orangtua yang sejak dini telah memberikan teladan hidup bagi anak-anaknya melalui pikiran, perkataan, dan perbuatan yang baik dan bermakna.
Anak lahir ke dunia dalam keadaan tidak berdaya, meskipun sebenarnya sudah membawa sejumlah potensi sebagai bekal untuk kelangsungan hidupnya di masa yang akan datang. Dalam ketidakberdayaan itulah orangtua diharapkan mampu memberikan pengaruh yang bermakna demi perkembangan anak selanjutnya melalui teladan hidup. Kewajiban orangtua juga untuk mengembangkan potensi itu melalui teladan hidup sehingga terbentuk manusia yang utuh. Pada hakikatnya teladan hidup otang tua merupakan suatu usaha sadar dari orangtua untuk mempersiapkan anak bagi peranannya di masa yang akan datang. Keberhasilan atas teladan hidup orangtua akan terlihat dari perwujudan diri anak dalam peranan-peranannya setelah memasuki kehidupan di masa dewasa dan seterusnya.
Jadi, teladan hidup orangtua dalam keluarga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perbuatan baik orangtua (ayah dan ibu) yang didasarkan pada terang firman Tuhan (Alkitab) yang patut ditiru anak, karena keteladanan demikian merupakan inti dan fondasi dari upaya pendidikan secara keseluruhan di rumah yang juga mempengaruhi di dunia (lingkungan di mana sang anak berada). Teladan hidup yang baik dalam keluarga akan menjadi fondasi yang kokoh bagi upaya-upaya pendidikan selanjutnya baik di sekolah maupun di luar sekolah. Dalam hubungannya dengan upaya mencerdaskan anak, teladan hidup dalam keluarga merupakan andalan pertama dan utama bagi upaya menyiapkan anak agar berkembang secara optimal dan bermakna.
2. Asas-asas keteladanan orangtua dalam Keluarga
Agar pendidikan anak dalam seluruh aspek dapat berlangsung optimal, ada sejumlah asas yang harus diajarkan sekaligus dipraktikkan orangtua sebagai teladan hidupnya, antara lain: pemenuhan atas kebutuhan spiritual dan material, pembentukan karakter, motivator dan komunikator, dan lain-lain.
a. Pemenuhan atas Kebutuhan Spiritual dan Material
Dalam memenuhi kebutuhan spiritual anak, Allah mengharuskan para orangtua memberi teladan kepada anak-anaknya dalam banyak bidang, khususnya dalam bidang rohani. Salah satu contoh teladan tersebut adalah dengan cara mengadakan waktu khusus yang berulang-ulang untuk mengajar anak-anak prinsip-prinsip dasar iman, sehingga tiap generasi patuh, setia, dan mengasihi Allah (bnd. Ul. 6:1-25). Inti dalam ayat ini adalah penekanan tentang keesaan Allah. Keesaan Allah itu diajarkan secara berulang-ulang. Ulangan 6 menyebutkan ada empat tempat bagi orangtua untuk mengajar anak-anak tentang keesaan Allah. Pertama, di rumah. “ ...apabila engkau duduk di rumahmu...”. Pendidikan khususnya pendidikan rohani didapat di sekolah, tetapi umumnya dimulai dari rumah ketika anak-anak masih bayi maupun ketika berkumpul bersama orangtua di rumah. Kedua, sedang dalam perjalanan. Setelah anak cukup kuat, orangtua sudah bisa mengajak anak-anak bepergian. Anak sering bertanya tentang apa-apa yang dilihat dan dirasakannya. Di sinilah orangtua mempunyai banyak kesempatan untuk mengajar dan mendidik anak, karena beberapa tahun kemudian kesempatan seperti ini sudah kurang berguna karena anak sudah mendapatkannya dari luar. Ketiga, ketika berbaring/tidur. Kepada anak diajarkan tentang keesaan Allah melalui cerita. Lewat cerita tersebut, Roh Kudus menanamkan kebenaran yang akan anak ingat dan menjadi bekal sampai dewasa. Keempat, ketika bangun. Mulai dari bangun sampai waktu tidur kembali banyak hal yang dialami anak, oleh karena itu perlu diajarkan tentang keesaan Allah. Berbahagialah orangtua yang tetap mampu mendidik anaknya sekaligus menerima setiap keluh kesah dan kegagalannya, yang mendidik anak dalam segala waktu dan keadaan. Pendidikan rohani, khususnya pengajaran tentang keesaan Allah yang dilakukan secara dini dan sebaik-baiknya akan memberikan fondasi kepribadian yang kokoh terutama dalam menghadapi berbagai tantangan yang datang dari luar diri anak; keimanan yang kokoh ini turut serta dalam mewujudkan anak sebagai generasi kemudian yang cerdas dan mandiri. Demikian pula dalam memenuhi kebutuhan material anak (sandang, pangan, dan papan), orangtua harus menyadari bahwa pendidikan anak hanya dapat berlangsung dengan baik apabila berada dalam lingkungan yang kondusif. Lingkungan kondusif adalah lingkungan yang sedemikian rupa dapat menunjang terjadinya proses pendidikan. Penataan lingkungan rumah yang sehat dan menyenangkan, serta suasana interaksi antara anggota keluarga, merupakan lingkungan yang baik bagi pendidikan anak. Orangtua sebaiknya menyediakan berbagai sarana yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak dalam berbagai aspek sesuai dengan kebutuhannya, misalnya alat permainan, tempat bermain, kesempatan bermain dan eksplorasi diri, dengan demikian anak dapat tumbuh dan berkembang secara lebih sehat dan kreatif.
b. Pembentukan Karakter
Kebiasaan yang baik (karakter) dibentuk dan dikembangakan melalui proses pendidikan yang baik khususnya melalui lingkungan, pengalaman, terlebih teladan hidup orangtua. Jadi, orangtua yang menuntun anak dengan cara mendidik anak-anaknya sesuai dengan kehendak Tuhan pasti akan mendapat anak-anak yang berkarakter baik. Dan anak-anak yang berkarakter baik akan menghindari perilaku buruk.
Teladan hidup harus dilakukan orangtua setiap waktu, misalnya kebiasaan dalam penggunaan waktu dan sarana secara tepat, demikian pula berkomunikasi dan bersikap secara tepat. Anak perlu dibiasakan untuk mengatur waktu antara menonton TV dengan bermain, belajar, istirahat dan kegiatan lainnya. Apabila kebiasaan ini sudah dimiliki oleh anak, maka anak sendiri akan menyesuaikan berbagai tindakannya sehingga tidak saling menghambat. Orangtua hendaknya benar-benar menyadari bahwa sesungguhnya anak sedang berada dalam proses perkembangan yang berkesinambungan menuju keadaan dewasa dan matang. Dalam proses perkembangannya anak dihadapkan dengan sejumlah tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhinya agar mencapai tahap kematangan yang sebaik-baiknya. Pendidikan pada hakikatnya merupakan bentuk upaya membantu proses perkembangan ini. Orangtua hendaknya memperhatikan karakteristik perkembangan anak dalam berbagai aspek seperti aspek sosial, intelektual, nilai, emosional, moral, fisik, dan sebagainya. Hal ini sangat diperlukan untuk memilih pendidikan yang lebih sesuai bagi anak. Orangtua dapat memberikan perlakuan yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak.
Di samping beberapa hal di atas, orangtua diharapkan pula mengenal kebutuhan-kebutuhan anak sesuai dengan taraf perkembangannya. Tindakan orangtua yang bijaksana adalah tindakan yang disesuaikan dengan jenis dan sifat kebutuhan anak. Beberapa jenis kebutuhan anak yang perlu mendapat perhatian antara lain adalah, kebutuhan akan kasih sayang, kebebasan positif untuk bertumbuh, penghargaan, penerimaan (baik ketika berhasil maupun gagal) sekaligus dorongan, kedamaian dan keharmonisan keluarga.
c. Orangtua sebagai Motivator dan Komunikator
Orangtua sebagai motivator. Apa yang dimaksud tokoh idola? Dalam pengertian sehari-hari idola sering diartikan sebagai “pujaan”, sehingga makna tokoh idola ialah seseorang yang dijadikan subjek pujaan untuk ditiru atau dijadikan rujukan dalam berperilaku. Tanpa disadari hampir semua orang terutama remaja selalu memiliki tokoh idola untuk dijadikan sebagai sumber rujukan bagi kepentingan perkembangan dirinya yang berupa tokoh dalam berbagai bidang seperti olahraga, musik, politik, bisnis, dan pendidikan. Umumnya seseorang mengidolakan orang lain ketika ia mulai mewujudkan identitas diri khusunya dalam aspek-aspek tertentu yang ada pada idolanya tersebut, misalnya aspek kepemimpinannya, intelektualnya, fisiknya, dan sebagainya untuk dapat dijadikan pola dalam perwujudan dirinya. Ia akan memilih hal-hal tertentu yang akan diinternalisasikan ke dalam dirinya dengan cara meniru misalnya meniru cara bicara, cara berpakaian, dan penampilannya.
Mencari dan memiliki tokoh idola tidak segampang yang dibayangkan, banyak masalah yang timbul, antara lain ketidakmampuan mencari dan memiliki tokoh idola yang positif sehingga dapat diperkirakan perkembangan diri akan banyak mengalami hambatan seperti kurang arah, kurang motivasi, bahkan idola yang tidak sesuai dengan norma dan nilai lingkungan. Membimbing anak memerlukan kemampuan, dalam hal ini orangtua harus memiliki kemampuan membimbing anak, namun disadari bahwa tidak semua orangtua mampu membimbing anak kearah perwujudan diri dengan tokoh idola yang tepat. Sebenarnya tokoh idola itu dapat dimulai dari keluarganya, khususnya orangtua. Orangtua harus dapat menjadi sumber idola atau dalam hal ini disebut sebagai “sumber motivasi” bagi anak-anak. Hal ini hanya mungkin terjadi kalau pola-pola keteladanan orangtua dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya atas dasar kasih yang tulus. Orangtua wajib memberi bimbingan dan arahan, membantu anak dalam mengembangkan kreativitas. Orangtua adalah motivator sekaligus idola anak-anaknya. Dalam peran orangtua seperti itu tepatlah pernyataan ini: kalau anak-anak banyak diberikan atau motivasi dalam kegidupannya maka anak akan belajar percaya diri. Orangtua sebagai komunikator. Komunikasi yang bersifat dialogis sangat membantu perkembangan anak. Melalui komunikasi yang baik antara anak dan orangtua, membuat kedua belah pihak mendapat kesempatan untuk melakukan dialog yang interaktif. Melalui dialog yang baik, anak akan memperoleh berbagai informasi dan sentuhan-sentuhan pribadi yang sangat bermanfaat bagi perkembangan dirinya, sekaligus anak akan mempelajari nilai-nilai yang diperlukan dalam memilih berbagai tindakan. Dengan nilai-nilai yang baik tersebut maka pengaruh-pengaruh buruk dari luar dapat dicegah sedini mungkin.
Orangtua perlu mengembangkan komunikasi yang efektif sehingga terjadi kesamaan persepsi mengenai berbagai aspek kehidupan. Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang sedemikian rupa terjadi di mana pesan yang disampaikan oleh pemberi pesan dapat diterima secara tepat oleh penerima pesan; anak-anak dan orangtua adalah komunikator dalam arti akan selalu diposisi sebagai pemberi dan penerima pesan.
3. Beberapa Bentuk Keteladanan Ayah dalam Keluarga
1 Korintus 11:3 menunjukkan ada tiga kepala sebagai otoritas, ini adalah struktur keluarga yang ditetapkan oleh Allah: pertama, kepala dari tiap laki-laki adalah Kristus; kedua, kepala dari perempuan adalah laki-laki. Jadi, laki-laki atau ayah adalah pemimpin. Ketiga, kepala dari Kristus adalah Tuhan. Sama seperti seorang prajurit harus tunduk kepada panglima, dan panglima tunduk kepada jendralnya. Yang membedakan hirarki dalam keluarga adalah fungsi bukan posisi; karena di mata Tuhan posisi laki-laki dan perempuan adalah sama.
a. Keteladanan Ayah sebagai Imam, Pelindung, dan Penasihat
Imam. Perintah Tuhan dalam 1 Timotius 2:8 agar suami/ayah dan isteri berdoa agar supaya Iblis tidak mudah merusak keluarga. Jika orangtua khususnya para ayah mengangkat tangan, maka Tuhan pasti turun tangan untuk memberkati keluarganya. “...supaya di mana-mana orang laki-laki berdoa dengan menadahkan tangan yang suci, tanpa marah dan tanpa perselisihan...” Pendidikan dalam keluarga merupakan inti dari pendidikan secara keseluruhan, inti dari pendidikan dalam keluarga adalah pendidikan rohani. Pendidikan rohani yang dilakukan oleh orangtua secara dini dan sebaik-baiknya kepada anak akan memberikan fondasi kepribadian yang kokoh, cerdas dan mandiri terutama dalam menghadapi berbagai tantangan dari luar. Orangtua terutama ayah yang mengerti fungsinya sebagai imam sebenarnya sedang menaati perintah Tuhan sekaligus menolong keluarga terutama anak-anaknya dalam menjalani hidup yang penuh dengan godaan dan tantangan. Dari sudut pandang psikologi, godaan merupakan suatu rangsangan (stimulus) dengan intensitas daya tarik yang kuat sehingga menimbulkan gangguan keseimbangan dirinya; suatu godaan akan terjadi apabila ada rangsangan yang kuat baik dari luar diri maupun dalam diri anak. Misalnya anak yang sedang berkonsentrasi belajar menjadi tergoda bila ia melihat penyanyi kesukaannya di acara televisi; timbul pertentangan dalam dirinya antara kekuatan untuk melihat acara tersebut atau untuk terus belajar. Si anak dikatakan tergoda apabila ia akhirnya lebih memperhatikan acara tersebut. Selain karena rangsangan yang kuat, godaan akan lebih mudah terjadi apabila anak tidak memiliki iman dan ketahanan diri yang kuat. Iman dan ketahanan diri anak bersumber dari kualitas kepribadian anak yang berasal dari kualitas keluarga yang menanamkan nilai-nilai kerohanian dan kualitas emosional yang sehat dan mengakar pada anak. Secara psikologis proses anak menghadapi godaan dapat dikatakan sebagai suatu mekanisme penyesuaian diri di mana anak akan mencari keseimbangan antara diri dan lingkungannya. Dalam proses ini akan terjadi berbagai kemungkinan antara yang bersifat berhasil, terganggu, gagal, dan patologis. Dikatakan berhasil bila anak mampu mendapatkan keseimbangan antara ketahanan diri dan rangsangan yang menggoda. Dikatakan terganggu apabila keseimbangan anak mengalami goncangan dalam melaksanakan perilakunya karena intervensi godaan. Dikatakan gagal apabila anak tidak mencapai tujuan karena teralihkan perhatian dan kegiatannya kepada godaan. Dan akhirnya yang dikatakan patologis apabila anak mengalami berbagai gangguan atau sakit baik fisik maupun psikis sebagai akibat dari godaan. Pelindung. Dunia akan hancur, bukan karena perang atau bencana alam, namun hancur karena banyaknya ayah yang tidak menjadi pelindung dan tidak bertanggung jawab. Hakim-hakim 11 menceritakan tentang Yefta sebagai hamba Tuhan sekaligus hakim yang dahulu memiliki latar belakang yang jahat karena ayahnya tidak bertanggung jawab. Anak yang tidak mendapat perlindungan dan kasih sayang seorang ayah cenderung jahat hati dan perilakunya. Penasihat. Dalam kamus bahasa Indonesia, nasihat artinya jalur atau garis-garis batas. Banyak anak lebih suka meminta nasihat kepada ibu, karena ibulah yang mengandung dan melahirkan anak, namun sangat disayangkan banyak ibu yang tidak tegas dalam memberi nasihat, sehingga anak tidak berada pada jalur semestinya. Mengingat dampak tersebut, maka jalur atau garis-garis batas sepantasnya diberikan oleh ayah yang umumnya lebih tegas dan berwibawa. 1 Tesalonika 2:11 membuktikan bahwa salah satu tugas penting seorang ayah adalah menasihati dan menguatkan hati: “... Seperti bapa terhadap anak-anaknya, telah menasihati kamu dan menguatkan hatimu...”
b. Keteladanan Ayah sebagai Perencana Masa Depan yang Inspiratif
Perencana masa depan. Sering dikatakan bahwa hari kini merupakan hasil hari kemarin dan untuk hari esok. Ungkapan ini mempunyai makna bahwa masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang merupakan suatu rangkaian yang mempunyai hubungan sebab-akibat. Semua orang mengharapkan apa yang terjadi di masa datang lebih baik dari pada sekarang. Orangtua terlebih ayah yang tidak sempat menikmati pendidikan yang baik umumnya mengharapkan agar pendidikan anaknya lebih baik. Yang menjadi masalah ialah bahwa semua orang mengharapkan masa depan yang baik, tetapi tidak semua orang menyadari bahwa untuk itu perlu perencanaan yang baik pula; sebagian orang masih menjalani kehidupan masa depannya dengan seadanya “bagaimana nanti” bukannya “nanti bagaimana”. Kalaupun menyadari pentingnya perencanaan untuk masa depannya, tidak semua memiliki kemauan dan kemampuan untuk melaksanakannya. Lalu bagaimana? Dalam kehidupan keluarga, perencanaan merupakan milik dan tanggung jawab seluruh anggota keluarga di bawah pimpinan ayah yang harus dikembangkan melalui forum komunikasi keluarga.
Anggota keluarga terutama ayah hendaknya memahami dan memberlakukan beberapa prinsip dalam perencanaan masa depan, antara lain: 1) Mengenal secara jelas gambaran masa depan: gambaran masa depan merupakan acuan dari perencanaan. Untuk memperoleh gambaran-gambaran tentang karier, pekerjaan, pendidikan, pola-pola kehidupan, ekonomi, pergaulan sosial, jodoh, dan sebagainya dapat bertanya kepada pihak yang mengetahui, membaca buku-buku yang relevan, mengkaji pengalaman orang lain, berusaha mengumpulkan berbagai informasi yang relevan. 2) Mengenal dan memahami keadaan diri: bagian ini adalah bagian inti dari perencanaan karena diri sendiri itulah yang akan menjalani perjalanan menuju masa depan, bukan orang lain.
Jadi, selain mengenal gambaran masa depan, gambaran diri sendiri ini justru lebih penting. Gambaran diri sendiri meliputi: gambaran tentang keadaan fisik, prestasi belajar, bakat, minat, pengalaman, sikap, kelemahan, dan sebagainya. Seorang anak tukang becak yang nilainya rendah di SMA tentulah tidak mungkin masuk fakultas kedokteran yang menuntut kepintaran dan biaya yang besar; antara gambaran masa depan dan gambaran diri sendiri perlu ada kesesuaian, jika tidak maka kemungkinan akan mengalami kegagalan. 3) Menjabarkan berbagai alternatif: Setelah gambaran masa depan dan gambaran diri sendiri jelas, perlu dijabaran secara realistis berbagai alternatif kemungkinan langkah-langkah untuk mencapai tujuan. 4) Mengadakan persiapan: mencakup beberapa hal misalnya, biaya, fasilitias, menghubungi pihak-pihak terkait dan pembuatan jadwual; perlu dipersiapkan pula untuk menghadapi berbagai akibat termasuk kemungkinan kegagalan. Inspirator yang handal. Setiap anak memiliki pandangan dan harapan terhadap ayahnya, ayah adalah seorang laki-laki kuat, tegas, dan sukses. Oleh karenanya, ayah harus mampu menjadi inspirator sekaligus merealisasikan pandangan dan harapan anak tersebut, sehingga anak memiliki rasa aman dan kepercayaan diri yang kuat. Kepercayaan diri akan menghasilkan seorang anak yang memiliki nilai-nilai hidup yang baik sekaligus berpendirian teguh. Ketika seorang anak berumur 3-4 tahun biasanya senang jika ayah meletakkannya di atas meja tinggi, lalu disuruh melompat dan ayah siap menyelamatkannya. Ternyata, secara psikologis, latihan itu menanamkan sekaligus menguatkan nilai-nilai positif bagi anak: anak menjadi berani, percaya diri, sekaligus sekaligus percaya kepada ayah yang melindunginya. Sebagaimana kita maklumi, setiap orang mempunyai berbagai pengalaman yang memungkinkan dia berkembang dan belajar. Dari pengalaman itu orang akan mendapatkan patokan-patokan umum untuk bertingkah laku sehingga membentuk sebuah nilai dalam seseorang yang cenderung memberikan arah dalam kehidupannya. Nilai/patokan menunjukkan apa yang cenderung kita lakukan dalam waktu dan tempat tertentu atas dasar keyakinan dan penghargaan tertentu, misalnya apa, bagaimana dan dampak dari menghormati orang lain, mengambil tindakan yang tepat, membuat keputusan yang efektif. Nilai/patokan yang negatif yang terbentuk umumnya menghasilkan arah hidup yang negatif pula. c. Keteladanan Ayah dalam Pengambil Keputusan yang Berwibawa, Disiplin, dan Semangat Pengambil keputusan. Pada dasarnya aktivitas manusia dalam keseluruhan hidupnya merupakan rangkaian pengambilan keputusan yang berkesinambungan. Untuk menjalankan dan mencapai keberhasilan kehidupannya, manusia senantiasa harus mengambil keputusan sejak bayi, anak-anak, remaja, dewasa, sampai masa usia lanjut. Keputusan-keputusan yang harus dibuat senantiasa terus ada sepanjang hidup, mulai dari keputusan yang sangat sederhana misalnya memutuskan mandi atau makan lebih dahulu. Keputusan dapat menyangkut berbagai hal sekaligus berdampak terhadap banyak hal.
Kesejahteraan hidup dalam keluarga banyak bergantung pada keputusan-keputusan yang dibuat. Keberhasilan maupun kegagalan seseorang berasal dari sebuah keputusan. Bagaimana mengambil keputusan yang tepat? Pengambilan keputusan dalam keluarga seyogjanya melibatkan seluruh anggota keluarga, mulai dari menyadari masalah, menganalisis berbagai alternatif, dan mengambil keputusan serta melaksanakannya; semua anggota keluarga hendaknya menyadari posisi masing-masing dalam keluarga. Sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah, ayah adalah pemegang keputusan utama, namun keputusan seorang ayah tetaplah harus berasal dari kesepakatan anggota keluarga lainnya.
Kewibawaan. Kewibawaan merupakan salah satu unsur kepribadian pada diri seseorang baik sebagai pribadi maupun sebagai pemegang otoritas tertentu. Secara umum kewibawaan dapat diartikan “daya pribadi” seseorang yang membuat pihak lain menjadi tertarik, bersikap mempercayai, menghormati, dan menghargai secara intrinsic (sadar, ikhlas). Kewibawaan seorang ayah banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor baik formal maupun informal, baik dari dalam maupun dari luar, baik yang bersifat material maupun non-material, baik yang tampak maupun tidak nampak. Secara umum, kewibawaan seorang ayah baik di dalam maupun di luar rumah ditentukan sekurang-kurangnya oleh beberapa unsur, antara lain: memiliki keunggulan, memiliki rasa percaya diri, ketepatan dalam pengambilan keputusan dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya, mampu menjadi teladan seluruh anggota keluarga.
Disiplin. Disiplin pada hakikatnya merupakan salah satu unsur penting dalam keseluruhan perilaku dan kehidupan baik secara individual maupun kelompok. Dengan disiplin, perilaku seorang individu akan lebih serasi dan seimbang dengan tuntutan ketentuan yang berlaku sehingga dapat menunjang terwujudnya kualitas hidup yang lebih bermakna . Disiplin mempunyai kaitan yang erat dengan berbagai masalah psikologis dalam keluarga. Oleh karenanya, upaya menegakkan disiplin pada hakikatnya berpangkal pada pengembangan psikologis individu yang semuanya berawal dari dalam keluarga. Disiplin sering dikaitkan dengan “hukuman”, dalam arti disiplin diperlukan untuk menghindari terjadinya hukuman karena sebuah pelanggaran. Hukuman dapat diberikan sebagai alat pendidikan. Secara psikologis, hukuman dapat dipandang sebagai sumber motivasi dalam keseluruhan perilaku manusia. Dengan menyadari adanya hukuman, individu cenderung untuk termotivasi melakukan tindakan yang benar. Dari sudut pandang positif, disiplin merupakan suatu proses pendidikan agar individu mampu mengembangkan kendali perilakunya sendiri secara sadar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Yang sering menjadi masalah adalah disiplin yang dimaksudkan sebagai “sumber motivasi dan alat pendidikan”, dalam kenyataannya seringkali tidak efektif atau tidak memberikan hasil yang tepat. Dalam menjalankan disiplin diperlukan kerjasama yang tepat antara pemberi disiplin, penerima disiplin, dan lingkungan. Pendisiplinan hendaknya jangan sampai melukai hati anak-anak: “Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya” (Kol. 3:21).
Semangat Juang. Semangat juang pada dasarnya merupakan suatu kualitas pribadi yang berupa kekuatan motivasi dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam semangat juang ini orang akan selalu tetap berusaha untuk mencapai tujuan dengan menggunakan berbagai cara. Pribadi yang memiliki semangat juang yang tinggi, akan ditandai dengan beberapa karakteristik, antara lain: (1) memiliki tujuan dan sasaran yang jelas, memiliki prinsip hidup yang konsekwen dan konsisten; (2) memiliki ketahanan dalam menghadapi rintangan sekaligus menyelesaikannya; (3) mampu bekerja sama dengan orang lain. Semangat juang diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan, baik kehidupan pribadi, bekerja, bermasyarakat dan bernegara, maupun dalam kehidupan beragama.
4. Beberapa Bentuk Keteladanan Ibu dalam Keluarga
Keberadaan kaum wanita mempunyai makna yang amat penting dalam seluruh kehidupan manusia. Wanita yang baik merupakan unsur utama yang memberikan warna dan nuansa keserasian, keindahan, dan dinamika kehidupan; sebaliknya kehidupan akan hancur di tangan wanita yang tidak baik. Dalam pengertian yang khusus “ibu” adalah sebutan atau panggilan dari seorang anak terhadap sosok seorang wanita yang telah mengandung dan melahirkannya. Secara lebih luas “ibu” mempunyai makna sebagai seorang wanita yang mempunyai tugas, peran, dan tanggung jawab untuk mewujudkan fungsi-fungsi keibuan seperti merawat, mengasuh, dan mendidik dalam mengembangkan kepribadian, baik yang berlangsung di keluarga maupun di luar keluarga. Keluarga sebagai satuan terkecil lembaga kehidupan sosial manusia, sangat ditentukan oleh citra wanita yang ada di dalamnya terutama wanita sebagai istri dari suami dan ibu dari anak-anaknya. Demikian pula dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dalam perkembangan zaman yang penuh tantangan disertai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pergeseran nilai-nilai positif, peran serta ibu diharapkan semakin nyata untuk memberikan warna dan nuansa positif bagi keluarganya. Keberadaan ibu dalam berbagai aspek kehidupan merupakan perwujudan dari berbagai peran ganda yang disandangnya yaitu sebagai pribadi, sebagai unsur keluarga (anak, istri, ibu, nenek), sebagai anggota masyarakat/negara, sebagai pekerja. Peran-peran ganda ini harus diwujudkan oleh ibu sesuai dengan tuntutannya tanpa harus meninggalkan kodratnya sebagai wanita. Peran-peran itu akan diwujudkan melalui berbagai penampilan perilaku dalam bentuk ucapan, pikiran, dan tindakan. Adalah sangat diharapkan agar penampilannya itu mencerminkan citra ibu yang sebaik-baiknya.
Dalam kehidupan keluarga, seorang ibu yang kurang mampu menampilkan citra yang baik akan berpengaruh pada pola-pola pendidikan anak-anaknya. Dan pada gilirannya anak tidak mendapatkan pendidikan yang memadai yang diperlukan untuk pembentukan kepribadiannya, demikian juga dalam berbagai aspek kehidupan lainnya.
a. Keteladanan Ibu dalam Merawat, Mendidik, dan Mendoakan Keluarga
Merawat keluarga dan anak Amsal 31. Dalam pasal ini digambarkan bagaimana seorang ibu harus mengurus rumah tangga dalam hal merawat, mendidik, dan mendoakan keluarga. Ibrani 11 menceritakan tentang para tokoh iman, namun mengapa cerita tentang Musa lebih banyak dibandingkan tokoh yang lain? “...karena iman maka Musa, setelah dewasa, menolak disebut anak puteri Firaun...(Ibr. 11:24)”. Bagaimana Musa memiliki iman sehebat itu sehingga meninggalkan Mesir?. Musa hidup mewah dan banyak menyerap ilmu-ilmu orang Mesir. Alkitab mengatakan bahwa dia hanya diasuh selama tiga bulan pertama dan kemudian dihanyutkan. Demikian pula Samuel, mengapa memiliki iman kepada Tuhan sementara dalam masa pertumbuhannya, Samuel mempunyai dua kakak angkat (anak-anak imam Eli) yang jahat? Tuhan menunjukkan melalui Alkitab bahwa mereka disusui/diberi “asi” oleh ibu mereka. Ada apa dengan “asi”? Kebiasaan para ibu saat menyusui anaknya, sering mennyanyikan myanyian yang mengandung pengharapan bagi anaknya. Tanpa disadari, ada doa sekaligus memori yang ditanamkan oleh ibu kepada anak-anaknya berupa harapan agar kelak menjadi anak baik; seorang ibu dapat menanamkan kebenaran dan pendidikan sedini mungkin lewat cara menyusui anaknya. Sebagai unsur keluarga, seluruh sisi kehidupan ibu tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan kehidupan keluarga. Tanpa kehadiran ibu, suatu keluarga akan kehilangan makna dan dinamikanya; seorang ibu harus mampu berperan sebagai sumber kehidupan untuk memberikan motivasi baik bagi suami, anak-anak, atau anggota keluarga lainnya melalui perilaku ibu dalam keluarga misalnya bagaimana seorang ibu harus berpikir, bersikap, berkreasi, dan sebagainya. Meskipun bukan kewajiban utama, seorang ibu dapat berperan sebagai pekerja untuk mencari nafkah demi menunjang kehidupan ekonomi keluarga, namun rasa keibuan/kodratnya akan tetap melekat. Setiap manusia dilahirkan dari kandungan ibunya yang kemudian mendapat perawatan dan pengasuhan untuk perkembangan selanjutnya. Hal ini mempunyai makna bahwa “ibu” mempunyai andil yang paling fundamental dalam pembentukan kepribadian seseorang, oleh karenaya ibu dibutuhkan oleh setiap orang. Setiap anak mengidamkan ibu yang ideal sebagai sumber keteladanan, penuh kasih sayang, penyabar, memberikan apa yang dibutuhkan anak terutama kebutuhan sentuhan emosional. Dari sudut pandang suami, ibu yang baik adalah istri yang dapat menjadi mitra dalam mengasuh, merawat, memperlengkapi, mendidik, baik pendidikan rohani maupun pendidikan jasmani dalam keluarga. Seorang ibu dapat mewujudkan tugas keibuannya dengan optimal apabila didukung oleh pihak lain termasuk suami, anak, orangtua, pemerintah, dan masyarakat. Mendidik/membina anak. Berbicara mengenai pembinaan anak adalah berbicara mengenai pendidikan, karena pendidikan merupakan suatu upaya sadar dalam mengembangkan kepribadian bagi peranannya di masa yang akan datang. Siapakah yang bertanggung jawab bagi pendidikan anak? GBHN dan UU No. 2/89 menetapkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, pemerintah, dan masyarakat. Di antara ketiga pihak yang bertanggung jawab sebagaimana dikemukakan di atas, keluarga merupakan penanggung jawab pertama dan utama. Disebut pertama karena anak datang dari keluarga dan akan kembali ke dalam keluarga. Kondisi dan kualitas kehidupan seseorang di masa yang akan datang sangat bergantung pada sejauh mana keluarga menanamkan investasinya melalui pendidikan anak-anaknya.
Pendidikan yang paling awal dilakukan dalam keluarga sejak anak masih dalam kandungan ibunya. Orangtua secara genetik dan alamiah jelas sebagai penanggung jawab pendidikan anak-anaknya. Pada umumnya ibu lebih memiliki kesempatan untuk mendidik anak-anaknya dibandingkan dengan ayah karena lebih banyak berada di dalam rumah. Beberapa contoh pendidikan/pembinaan yang ibu dapat lakukan misalnya: 1) Mendidik anak dalam bidang kerohanian sebagai landasan bagi pembentukan kualitas manusia secara utuh; 2) Memperhatikan perkembangan dan kebutuhan anak dengan kasih sayang yang tulus; 3) Menciptakan situasi kondusif sekaligus memotivasi anak bagi berlangsungnya pendidikan secara efektif; 4) Membentuk anak agar terbiasa mewujudkan perilaku-perilaku yang baik; 5) Menciptakan komunikasi yang efektif.
Mendoakan keluarga dan anak. Rasul Paulus memuji keluarga Timotius dengan berkata, “Aku melihat iman yang kamu warisi dari ibumu dan iman itu diwarisi ibumu dari nenekmu” (2 Tim. 1:15). Timotius mencontoh teladan iman ibunya dan neneknya.
Dalam Matius 18:19-20 dinyatakan “...Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka”. Berdasarkan firman Tuhan ini dapat dikatakan bahwa seorang ibu dan ayah yang sepakat mendoakan kebaikan bagi anaknya pasti Tuhan mengabulkan doanya. Dalam keluarga, pengertian dua orang di sini dapat juga dihubungkan pada suami-istri; namun karena ibu umumnya lebih banyak berada di rumah maka perikop ini dapat pula ditujukan bagi ibu agar sesering mungkin mengajak anak-anaknya untuk berdoa bersama bagi keluarganya.
Berikut ini beberapa variabel (judul) penelitian Pendidikan Agama Kristen. Bila ada yang memerlukan paparan latar belakang masalah (Bab I) dan kajian teori atau kajian teologis-teoritis (Bab II) maka dapat memilih dan memesannya dengan menyediakan ongkos mengetik (biaya ketik) yang relatif terjangkau. Namun harus diingat bahwa ini hanya contoh. Bagi yang berminat silakan menghubungi via telp atau SMS.(081388662585) atau via email: triofilsafat@gmail.com. Selain itu jika ada yang ingin mendapatkan arahan/pencerahan membuat tesis maka kami siap memandu Anda. Variabel atau judul skrispsi maupun tesis yang akan diteliti sebaiknya disesuaikan dengan kerinduan mendalami bidang-bidang Pendidikan Kristen yang berguna dalam tugas melaksanakan "tugas didaktik/pengajaran Yesus Kristus di Indonesia". Bila Ada yang membutuhkan bantuan silakan hubungi kami di: 081388662585.
Berikut variabel-variabel penelitian dalam Pendidikan Agama Kristen:
Variabel-variabel Penelitian Skripsi/Tesis PAK:
Judul-judul berikut ini terdiri dari variabel bebas dan terikat (2 variabel)
1. Hubungan Pendidikan Agama Kristen dengan Pekabaran Injil
2. Pengaruh Keteladanan Orangtua Terhadap Perilaku Anak
3. Daya Tahan Guru PAK Terhadap Pengaruh Kebenaran yang relatif dalam Pluralisme Agama
4. Pencobaan Guru Pendidikan Agama Kristen dalam Melaksanakan Didaktik Yesus Kristus
5. Karakter Guru Pendidikan Agama Kristen yang berintegritas
6. Pengaruh Guru Pendidikan Agama Kristen Inklusif Terhadap Perilaku Peserta didik dalam Masyarakat
Majemuk
7. Pengaruh Percaya Diri Terhadap Keberhasilan Mengajar Guru PAK
8. Tanggungjawab orangtua mendisiplin anak Terhadap Peningkatan minat belajar anak
9. Implementasi Kecerdasan Majemuk dalam proses PAK
10. Pengaruh Penggunaan Metode Creatif Learning dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Kristen
11. Pengaruh Pengembangan Kinerja Guru Terhadap Efektivitas Proses Pembelajaran PAK
12. Pengaruh Tingkat Pemahaman Guru PAK Tentang Tempramen Peserta didik Terhadap Perubahan ranah pembelajaran peserta didik