Blog ini berisi info pendidikan, tidak diperkenankan tampilan iklan dewasa. Silakan Baca Postingan baru 2024 tentang judul-judul penelitian mahasiswa dan masalah penelitian. Dilarang Keras Mengkopi Paste Artikel dalam Blog ini tanpa izin pemilik blog. Bila Anda mengkopi paste, saya akan laporkan ke DMCA dan blog Anda dapat dihapus.Copi paste dapat diketahui melalui www.google.co.id/. Selamat Paskah 2024. Imanuel

Sponsor

Sponsor

Saturday, June 11, 2016

Memahami Puasa Dalam Terminologi Iman Kristen


Pengertian Puasa Menurut Perjanjian Lama

Iman Kristen tidak dapat dipisahkan dari Perjanjian Lama. Itulah sebabnya pelajaran tentang puasa mesti diperhatikan juga dalam kesaksian Perjanjian Lama. Dari sisi makna, kata “puasa” dalam bahasa Ibrani tsom, yang mengacu pada tindakan menyangkal diri. Sedangkan dalam Perjanjian Baru, kata Yunani yang dipakai yaitu nesteia yang memiliki arti penyangkalan diri.
Praktik puasa dapat kita perhatikan dalam komunitas perjanjian yaitu bangsa Israel sebagaimana yang dinarasikan dalam Perjanjian Lama yaitu dalam kitab Imamat 16:29-31; 23:26-32; Bilangan 29:7-11. Setelah bangsa Israel keluar dari Mesir, Allah memberikan ketetapan-ketetapan-Nya kepada bangsa pilihan melalui nabi Musa. Salah satu ketetapan itu yakni puasa. Nabi Musa sebelum memberitahukan kepada umat Israel, ia telah menempuh/melakukan puasa selama 40 (empat puluh hari empat puluh malam) di atas gunung Sinai (= Horeb). Menariknya yakni Puasa yang ditetapkan Allah bertepatan dengan Hari Raya Pendamaian yaitu hari Grafirat, terjemahan lama, dalam bahasa Ibrani vow hakkipur.
Hari Pendamaian “bagi bangsa Israel merupakan hari suci paling khidmat, oleh sebab itu barang siapa yang tidak menjalankan puasa pada hari itu harus dihukum mati.”(Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, 1995:225) Setiap orang dilarang untuk makan, minum, mandi, meminyaki diri, memakai alas kaki dan bersetubuh (William Barclay, 1995:383). Dalam penerapan selanjutnya anak-anak kecilpun dilatih untuk mengikuti peraturan puasa pada Hari Raya Pendamaian itu, agar apabila mereka kelak dewasa mereka sudah siap untuk menerima dan memberlakukan puasa secara nasional tersebut. Dalam penanggalan Yahudi pada hari ini bangsa Yahudi harus berkabung dan merasa sedih sebagai tindakan pendamaian atas dosa-dosa mereka.
Praktik puasa sebagaimana yang disebutkan di atas biasanya dihubungkan dengan keharusan satu hari untuk berpuasa, dalam perkembangannya orang-orang Yahudi melakukan banyak puasa pribadi. Akibatnya hari hari puasa lainnya ditambah sehingga total puasa menjadi lebih daripada dua puluh hari! (Richard J. Foster, 1996:76). Sesudah keruntuhan kota Yerusalem tahun 586 dan seluruh Yehuda dibuang ke Babel maka ditetapkan empat hari puasa, yakni dalam bulan keempat, kelima, ketujuh dan bulan yang kesepuluh, untuk memperingati keruntuhan kota Yerusalem sebagai waktu duka nasional. Suasana ini dapat diperhatikan dalam firman Tuhan kepada Zakaria: “Beginilah finnan TUHAN semesta alam; waktu puasa dalam bulan yang keempat, dalam bulan yang kelima, dalam bulan yang ketujuh dan dalam buian yang kesepuluh akan menjadi kegirangan dan sukacita dan menjadi waktu-waktu perayaan yang menggembirakan bagi kaum Yehuda. Maka cintailah kebenaran dan damai!” (Zak. 8:19).
Selanjutnya dalam Alkitab kita mengenal ada puasa Daniel. Daniel berpuasa pada waktu ia berada dalam pembuangan di Babilonia (Dan. 9:3-4). Daud berpuasa untuk menunjukkan dukacitanya akibat kematian Abner (lihat II Sam. 3:35) dan kematian raja Saul dan Yonathan. Ezra dan bangsa Yahudi berpuasa merendahkan hati di hadapan Tuhan pada waktu akan pulang dari Babilonia ke Yerusalem (Ezra 8:21). Demikian halnya nabi Yesaya dipakai oleh Tuhan untuk menegur umat Yahudi yang berpuasa tetapi tidak menunjukkan kerendahan hati sebagai bukti nyata dari puasa tersebut (lihat Yes. 58:3-6). Puasa Ratu Ester. Puasa ini bertujuan untuk meminta tolong pada TUHAN agar umat Israel terselamatkan dari rencana pemusnahan Haman. Ester menyuruh semua orang Yahudi berpuasa, tidak makan tidak minum selama tiga hari penuh. Jadi puasa Ester adalah puasa tanpa makan dan minum selama tiga hari (lihat Ester 4:16). Puasa juga dilakukan oleh Ezra dan umat Yahudi. Mereka berpuasa ketika akan memberangkatkan rombongan yang akan pulang kembali ke Yerusalem (Ezra 8:21). Kita juga masih mengenal ada puasa Nehemia, yaitu Nehemia berpuasa untuk memohon ampun kepada Tuhan atas dosa-dosa bangsanya (Neh. 9:1).
Uraian di atas menegaskan bahwa puasa mewamai setiap hari raya yang ditetapkan Allah bagi umat-Nya yaitu umat Israel pada waktu itu. Mereka harus melakukan puasa-puasa secara individu maupun kolektif berdasarkan alasan-alasan tertentu yang telah disebutkan di atas.
Puasa dalam Perjanjian Lama dilakukan sebagai suatu ekspresi alamiah dari kesedihan; dan selanjutnya menjadi suatu kebiasaan untuk menunjukkan kesedihan seseorang kepada yang lain dengan menghindarkan diri dari makanan atau menunjukkan dukacita. Puasa sebagaimana dalam penjelasan di atas adalah praktik umat-Nya untuk menunjukkan dan kemudian mendorong perasaan yang sungguh-sungguh karena dosa (Elmer L. Towns, 1999: 26) atau yang biasa disebut puasa sebagai tanda pertobatan.
Puasa merupakan ekspresi alamiah manusia dari kesadarannya akan dosa. Hal ini akhirnya menjadi suatu kebiasaan keagamaan untuk menenangkan kemarahan Allah yang memurkai dosa. Orang-orang mulai berpuasa untuk menjauhkan kemarahan Allah agar la tidak membinasakan mereka. Di dalam buku-buku Yahudi di luar Perjanjian Lama terdapat beberapa ceritera mengenai puasa semacam ini. Ruben berpuasa selama tujuh tahun untuk menghapus dosa yang dilakukannya dalam menjual Yusuf adiknya. Ruben tidak minum anggur atau minum yang semacamnya, tidak makan daging atau makanan lain yang enak. Dengan alasan yang sama Simeon-pun melakukan puasa selama dua tahun. Yehuda yang pernah berzinah dengan Tamar ingin melakukan pertobatan yang menghapus dengan berpuasa dengan tidak minum anggur, makan daging dan menjauhkan diri dari segala kenikmatan (William Barclay, 1995:384)
Jadi, berpuasa dijadikan sebagai dasar permohonan yang efektif dari seseorang kepada Allah. Untuk maksud ini kita dapat memperhatikan tulisan seorang penulis Yahudi yang menyatakan: “demikian halnya dengan orang, yang berpuasa demi dosa-dosanya, lalu pergi dan melakukan dosa yang sama lagi; siapa gerangan akan mendengar doanya? Dan apa faedahnya perendahan dirinya itu?”(Kitab Sirakh 34:26). (William Barclay, 1995:384)

Dengan demikian tepatlah perkataan Towns:

Ketika Allah menunjukkan kemarahan-Nya terhadap suatu bangsa karena kejahatannya, berpuasa menjadi cara untuk mencari kemurahan dan perlindungan ilahi. Oleh karena itu, adalah alami untuk sekelompok orang menyatuhkan diri mereka dalam pengakuan dosa, menyesali dosa mereka dan berdoa syafaat kepada Allah. (William Barclay, 1995:384)

Niniwe berpuasa sebelum Tuhan menghukum mereka (Yun. 3:5-10); Daud berpuasa dengan maksud Allah dapat menyembuhkan anaknya (II Sam. 12:16-23); Yosafat berpuasa supaya Allah berperang menggantikan bangsanya dan masih banyak contoh lain dalam Perjanjian Lama yang menunjukkan puasa sebagai dasar Allah memberikan jawaban-Nya. William Barclay menggambarkan tiga hal penting yang selalu ada dalam benak orang Yahudi saat berpuasa, yaitu :

(i) Berpuasa adalah suatu usaha sengaja untuk menarik perhatian Allah kepada orang yang melakukannya. Pemahaman ini memang sangat kuno. Puasa dilakukan untuk menarik perhatian Allah yang dengan puasanya itu menyengsarakan dirinya sendiri.
(ii) Berpuasa adalah suatu usaha sengaja untuk membuktikan adanya pertobatan nyata. Puasa di sini merupakan jaminan akan kesungguhan kata-kata dan doa dari si pelaku. Di sini memang mudah sekali terjadi bahaya, karena puasa, yang semula dimaksudkan sebagai bukti dari pertobatan, bisa dengan mudah dianggap menjadi pengganti pertobatan itu sendiri.
(iii) Puasa juga sering dilakukan atas nama orang lain. Puasa yang demikian ini bukan pertama-tama dimaksud untuk menyelamatkan orang yang menderita, melainkan untuk menggerakkan Allah agar la bertindak menyelamatkan bangsa yang sedang menderita. Orang atau bangsa yang sedang menderita itu tidak perlu malakukan puasa sendiri, tetapi orang lainlah yang malakukannya atas nama dan untuk mereka (William Barclay, 1995:386).
Demikianlah puasa yang diajarkan dalam Perjanjian Lama dan dilakukan oleh orang-orang Yahudi pada waktu itu. Pertanyaan implikatif yaitu: apakah orang Kristen melakukan puasa seperti yang diajarkan dalam Perjanjian Lama? Ya orang Kristen juga dapat melakukan puasa tetapi tentu berbeda seperti yang dilakukan oleh bangsa Israel. Orang Kristen dapat melakukan puasa seperti yang diajarkan oleh Yesus (akan dibahas dalam Puasa Menurut Perjanjian Baru)

Puasa Menurut Perjanjian Baru

Dalam Perjanjian Baru peraturan berpuasa pada Hari Raya Pendamaian masih diterapkan, malah puasa pada hari itu menjadi suatu keharusan. Puasa pada hari itu dilakukan sejak dini hari sampai matahari terbenam. Di luar batas waktu itu, semua kegiatan berjalan sebagaimana biasa: orang boleh makan minum dan melakukan hal-hal lain seperti biasanya. Dalam Perjanjian Bara “puasa merupakan suatu disiplin yang dilaksanakan secara luas, terutama dikalangan orang Farisi dan murid-murid Yohanes Pembabtis.” (William Barclay, 1995:27) Yesus memulai pelayanan-Nya dengan berpuasa selama empat puluh hari empat puluh malam (lihat Mat. 4:1-2). Mengenai, apakah setelah Tuhan Yesus berpuasa empat puluh hari, Dia masih berpuasa lagi? Abineno menjawab.
Dalam Perjanjian Baru kita membaca, bahwa sesudah kejadian ... berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam lamanya di padang gurun - la pernah berpuasa lagi dalam hidup-Nya di dunia. Tetapi ... kita juga tidak membaca, bahwa la pernah menentang puasa. Musuh-musuh-Nya tidak pernah mempersalahkan-Nya, bahwa la tidak mentaati peraturan-peraturan puasa. Malahan sebaliknya ... puasa yang dilakukan secara sukarela la anggap baik.(J.L.Ch. Abineno, 1996:140)
Akan tetapi ketika murid-murid-Nya dikecam oleh beberapa orang Farisi dan murid-murid Yohanes Pembabtis karena mereka tidak berpuasa, Yesus menjawab bahwa murid-murid-Nya tidak akan berpuasa ketika la ada bersama mereka, tetapi tersirat bahwa mereka akan berpuasa setelah la diambil dari mereka (lihat Mat. 9:14-15).
Yesus tidak memberikan petunjuk secara spesifik mengenai frekuensi puasa. Dalam khotbah-Nya di bukit la berkata, bahwa puasa mereka (para murid dan semua orang yang mendengar khotbah-Nya) harus berbeda dari puasa Farisi, di mana mereka harus berpuasa kepada Allah, bukan untuk menarik perhatian orang atau membuat orang lain terkesan dengan tindakan yang sepertinya rohani (lihat Mat. 6:16-18). Orang-orang Farisi berpuasa dua kali seminggu (lihat Luk. 18:12) setiap Selasa dan Kamis. Yohanes Pembabtis dan murid-muridnya juga berpuasa secara teratur, bahkan sering berpuasa pada waktu tertentu.
Berpuasa kemudian dipraktikkan dalam Gereja mula-mula. Jemaat Anthiokia berpuasa sebelum memberangkatkan Paulus dan Barnabas untuk safari penginjilan mereka yang pertama. Paulus dan Barnabas melakukan hal yang sama sebelum mengangkat penatua-panatua atau memilih orang-orang untuk pelayanan khusus. (Kis. 13:1-3; 14:23). Rasul Paulus dan pemimpin-pimimpin Gereja mula-mula sering berpuasa secara teratur (lihat I Kor. 7:5; II Kor. 6:5). Dan sebelum itupun Paulus sesudah pertobatannya, ia berpuasa; tidak makan dan tidak minum selama tiga hari (Kis. 9:9).
Epiphanius, uskup Salamis, dilahirkan tahun 315, bertanya, Siapa yang tidak tahu bahwa puasa pada hari keempat dan keenam dalam satu minggu dijalankan oleh orang-orang Kristen di seturuh dunia? (Abineno, 1996:140) Pada awal sejarah Gereja orang-orang Kiisten mulai berpuasa dua kali seminggu, memilih hari Rabu dan Jumat untuk menghindari kekeliruan dengan orang Farisi, yang berpuasa setiap hari Selasa dan Kamis. “Gereja mula-mula berpuasa beberapa hari sebelum paskah untuk mempersiapkan kerohanian mereka menyambut perayaan kebangkitan Kristus.” Warisan puasa Gereja mula-mula ini masih terlihat clalam Gereja Katolik. “Orang-orang Kiisten dalam zaman pasca para rasul juga biasa berpuasa dalam persiapan untuk menerima babtisan.” (Abineno, 1996:140)


No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.