Skripsi Sarjana Teologi atau S.Th. dapat diambil dari Bible (Alkitab) maupun tema-tema yang aktual untuk diteliti demi kepentingan pelayanan
Berikut kajian Bab Ladasan Teori.
BAB II
KAJIAN TEOLOGIS PENDAMAIAN MENURUT
SURAT KOLOSE
A. Definisi Teologi Pendamaian
Pendamaian menunjukkan adanya suasana hubungan yang harmonis atau serasi antara dua atau lebih dari dua pihak. Perdamaian menunjukkan keadaan damai atau suasana yang menentramkan. Pemahaman seperti ini dapat dimaklumi karena secara umum, pendamaian berasal dari kata dasar damai. Damai adalah suasana di mana tidak terdapat permusuhan. Damai menunjuk pada hubungan yang serasi antara dua pihak atau lebih. Damai juga dapat menunjuk pada suasana tenang. Adanya suasana yang Indah dapat pula digambarkan sebagai keadaan yang damai. Di Indonesia, ada kata yang menunjukkan suasana tersebut, kata itu yakni “damai sejahtera”. Kata ini dipakai untuk menggambarkan suatu suasana yang sungguh-sungguh aman dan tentram.(A.A.Yewango, 1983:1-2)
Selain kata Indonesia di atas, ada pula kata Inggris yang menggambarkan pendamaian. Kata yang dimaksud yaitu “peace”. Kata ini memiliki pengertian: bebas dari atau berhenti dari peperangan, bebas dari ketidak teraturan sipil, ketenangan dan kesentosaan. Jadi, berdasarkan uraian ini, damai memiliki pengertian: kesentosaan di antara sesame (hubungan social yang harmonis), kesentosaan alam (hubungan manusia dengan alam), kesentosaan batiniah (kesejahteraan batin manusia). (A.A.Yewango, 1983:1-2). Dengan kata lain damai adalah suatu suasana, sedangkan pendamaian adalah suatu proses yang sedang berlangsung menuju suasana damai. Apabila ada dua pihak yang bermusuhan dan ada usaha untuk melupakan permusuhan maka hal ini disebut proses pendamaian.
Pengertian pendamaian dalam paparan di atas bersifat umum, jika demikian apa pengertian pendamaian menurut Alkitab dan hal apa yang melatarbelakangi akan kebutuhan pendamaian? Dalam Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru terdapat kesaksian tentang adanya permusuhan antara manusia dengan Tuhan dan manusia dengan sesamanya. Dalam kitab Kejadian disaksikan bahwa manusia berbuat dosa (bermusuhan) dengan Allah.
Dalam konteks iman Kristen, keadaan harmonis antara manusia dengan Allah, sesame dan lingkungan dapat diperhatikan dalam narasi Kejadian 1 dan 2. Dalam narasi ini, penulis kitab Kejadian memaparkan bahwa manusia berada dalam keadaan ketaatan pada Allah, manusia diberi kuasa mengusahakan dan memelihara lingkungan, tidak ada pelanggaran antara manusia dan sesamanya. Akan tetapi dalam narasi Kejadian 3, dipaparkan bahwa manusia kurang harmonis lagi dengan Allah (bersembunyi), alama terkutuk karena kesalahan manusia, manusia mulai membunuh sesamanya (pembunuhan Habel oleh kain). Pelanggaran demi pelanggaran terjadi, menara Babel dan peristiwa lainnya menunjukkan bahwa manusia berada dalam suasana kurang harmonis, permusuhan. Kekurangan harmonisan ini disebabkan karena manusia telah berdosa.
Benarkah manusia berada dalam keadaan kurang harmonis dengan Allah, sesame dan alam semesta sehingga dibutuhkan pendamaian? Hal ini akan Nampak dalam uraian tentang pengertian dosa menurut Alkitab.
Menurut Alkitab, dosa adalah pelanggaran terhadap hukum Allah. Beberapa kata Yunani yang dipakai untuk dosa. Pertama, parabasis yang memiliki arti “melawati, melanggar”. Berdasar pada arti kata ini maka dosa adalah perbuatan manusia melewati atau melanggar sabda-Nya. Dengan demikian dosa adalah kegagalan untuk selaras dengan standar Allah.
Kedua, “hamartia” berarti “meleset dari sasaran”, meninggalkan jalan kebenaran. Berdasarkan pengertian kata ini maka dosa adalah tindakan manusia yang meleset dari sasaran, atau meninggalkan kebenaran. Yang benar adalah TUHAN. Bersalah berarti meninggalkan TUHAN. Semua orang telah meleset dari standar Allah dan terus gagal untuk mencapai standar itu. Standar itu dapat dipahami dalam firman-Nya kepada manusia pertama, dan khusus untuk bangsa Israel Allah telah memberikan hukum Musa untuk menjadi standar (Rom. 4:15). Dosa adalah pemberontakan pada Allah. Ketiga, “anomia”, yang berarti “tanpa hukum” (I Yoh. 3:4). Dosa adalah tindakan yang salah pada Allah dan manusia. Rom 1:18 menunjuk pada “segala kefasikan dan kelaliman manusia”.(Paul Ens, 2003:383)
Keempat, “paraptoma” menunjuk pada langkah yang salah yang dikontraskan dengan yang benar ( Rom. 4:25, Gal. 6:1, Ef. 2:1). Kelima, “parabasis” berarti melanggar keluar, suatu penyimpangan dari iman yang benar (Rom. 2:23, 4:15, Gal. 3:19). Keenam, Anomia berarti tanpa hukum atau pelanggaran (II Kor. 6:14, II Tes. 2:3).
Menurut Paul Enns, dosa adalah sebuah hutang, mengusulkan obligasi manusia dan ketidak mampuan manusia untuk membayar hutang itu (Ef. 1:7, Kol. 1:14). Dalam pemahaman ini, dosa merupakan bentuk penyimpangan dari jalan yang benar; Allah telah menjadikan hukum Musa sebagai standar, tetapi orang tidak mencapai standar-Nya (Paul Ens, 2003:383) (bnd. Rom. 2:14, 15,23; 4:15).
Manusia berdosa adalah adalah manusia yang tanpa hukum dan menjadi pemberontakan (Rom. 11:30; Ef. 2:2, 5:6; Kol. 3:6,) yang menyangkut tindakan eksternal maupun sikap internal. Rom. 1:29-31 mengombinasikan tindakan dan sikap; tindakan itu adalah pembunuhan, immoralitas, kemabukan, dan homoseksualitas sedangkan sikap adalah iri hati, kebodohan, dan tidak beriman. Manusia berdosa adalah manusia yang diperbudak dosa, manusia yang tidak percaya (Rom. 6:16-17) manusia yang tanpa kebenaran (Rom. 1:8) dan menggantikannya dengan kebohongan.
Manusia berdosa tidak berada dalam pendamaian. Manusia butuh pendamaian. Pendamaian adalah suasana keharmonisan. Dalam kesaksian kitab suci, khususnya dalam Kitab Kejadian dinyatakan bahwa sebelum manusia jatuh dalam dosa manusia berada dalam keharmonisan antara manusia dengan Tuhan dan alam yaitu tempat manusia berdiam. Akan tetapi setelah manusia berdosa maka manusia mengalami permusuhan dengan Tuhan dan alam.
Permusuhan manusia dengan Allah yaitu bahwa manusia hidup tidak lagi berdasarkan kehendak Tuhan tetapi kehendak manusia yang dikuasai dosa. Sedangkan permusuhan dengan alam yaitu bahwa tanah terkutuk karena kesalahan Adam (manusia). Hal ini disaksikan dalam Kejadian 3:17-18. Manusia juga bermusuhan dengan sesamanya, Kain membunuh adiknya (Kej.4). Kejahatan manusia semakin bertambah sampai dimusnakan dengan air bah (Kej. 7). Menara Babel menujukkan bagaimana manusia menunjukkan permusuhan dengan Tuhan dengan jalan tidak menuruti perintah Tuhan, membangun menara Babel untuk mencari nama dan dengan tujuan agar manusia tidak terserak, sedangkan Tuhan menghendaki agar manusia dapat mendiami bumi (Kej. 11).
Permusuhan antara manusia dengan Tuhan terus berlangsung sepanjang zaman. Sejak Adam dan Hawa, terpilihnya Israel sebagai sebuah bangsa. Permusuhan itu tetap berlangsung, permusuhan itu diwujudkan dengan tindakan memberontak atau tidak menuruti firman Tuhan. Kondisi demikian menghantar manusia pada status “bermusuh” dengan Allah dan butuh pendamaian. Dalam Perjanjian Lama pendamaian itu dilaksanakan dalam bentuk korban binatang. Andreas A. Yewango mengutip definisi dosa menurut Anselmus, dengan menyatakan bahwa:
“dosa adalah suatu pelanggaran yang berat. Oleh dosa itu, maka kehormatan Allah direbut. Tetapi kehormatan Allah itu harus dikembalikan kepada Allah … atau kalau tidak, maka manusia harus ditempatkan di bawah penghukuman Allah. Penghukuman itu berarti binasanya manusia, sedangkan Allah mempunyai rencana dengan manusia”.
Yewango melanjutkan pemahaman Anselmus tentang pendamaian dengan menyatakan bahwa menurut Anselmus, manusia tidak sanggup mengembalikan kehormatan Allah. Oleh karena itu maka Allah sendiri yang memikul hukuman itu. Akan tetapi bagaimana mungkin Allah menghukum Allah, sedangkan yang melakukan dosa adalah manusia. Bagaimana itu dapat diwujudkan Allah?. (Yewango, 1983:21). Dosa adalah sebuah hutang, dan manusia tidak mampu membayar hutang itu (bnd Ef. 1:7, Kol. 1:14).
Dalam teori pendamaian muncul beragam pandangan tentang pendamaian. Misalnya Aulen mengemukakan tiga tipe pendamaian yaitu, (1) tipe klassik yang menyatakan: Allah memperdamaiankan dunia ini atas kuasa kejahatan dan kemenangan Kristus, (2) tipe Latin, atau yang biasa dikenal dengan teori satisfaktio yang dipelopori oleh Anselmus, yaitu bahwa Allah sendiri harus didamaikan oleh perbuatan pengorbanan Yesus Kristus. Ada denda yang harus dibayar. Denda itu harus dibayar untuk mengembalikan kehormatan Allah yang telah dirampas manusia. (3) tipe humanis yaitu suatu kelompok yang disebut dengan “protestantisme baru” dengan tokoh-tokoh seperti: F. Schleirmacher, Albert Ritschl, Adolf von Harnack, E. Troeltsc, mereka menyatakan: Allah sendiri muncul sebagai yang mendamaikan, mengasihi dan oleh karena kasih-Nya terhadap manusia maka Ia mendamaikan diri-Nya. (Yewango, 1983:21). Menurut teori ini, karena manusia tidak mampu maka Allah sendiri meredam murkanya atau mendamaikan diri-Nya.
Ajaran tentang pendamaian memiliki hubungan dengan penebusan yang juga memiliki masalah yang rumit yaitu kepada siapa hutang dosa itu dibayar? Apakah kepada Allah atau kepada Setan?. Pokok ini penting tetapi bukanlah isu utama dari penelitian tentang pendamaian. Penulis menyadari bahwa pokok ini juga disinggung dalam tulisan Paulus, khususnya dalam Efsus dan Kolose (bnd. Ef. 1:7, Kol. 1:14). Manusia berdosa berada dalam posisi berseteru atau bermusuhan dengan Allah. Antara Allah dan manusia perlu didamaikan. Allah murka atas manusia karena manusia tidak mengindahkan sabda-Nya. Oleh karena itu manusia membutuhkan pendamaian. Untuk memenuhi pendamaian maka dalam Perjanijian Lama manusia yang berdosa harus mempersembahkan korban sehingga manusia berdosa didamaikan dengan Allah. Ini berarti untuk mewujudkan pendamaian itu harus ada korban. Korban tersebut dalam bentuk binatang.
Kebutuhan akan perdamaian inilah maka dalam Perjanjian Lama terdapat pengajaran dan praktik tentang persembahan korban. Dalam akhir dari kitab Keluaran, terdapat penjelasan tentang korban-korban yang dilakukan di tempat maha suci (pasal 1-7). Korban Perjanjian Lama dalam Kitab Imamat dan penggenapan makna korban dalam Perjanjian Baru. Dalam kitab Imamat terdapat ajaran tentang pemulihan hubungan dengan Allah yaitu peraturan mengenai korban dan penyucian atau penebusan Dosa. Peraturan ini mesti dipatuhi umat pilihan-Nya. Dalam akhir kitab Imamat terdapat ajaran tentang hidup sebagai umat Allah.(Dennis Green, 1992:35). Dalam Perjanjian Baru pengorbanan Kristus membawa penyucian yang menyeluruh, oleh karena itu hukum-hukum mengenai korban dan upacara penyucian tidak lagi berlaku. Jika demikian, semua hukum itu sangat berguna untuk menjelaskan apa arti kematian Kristus bagi orang percaya. Dalam surat-surat Paulus membicarakan “pendamaian” dengan rujukan tunggal pada Yesus Kristus. Apa maksud paulus dengan “pendamaian”?.
Berdasarkan penjelasan di atas menjadi jelas bahwa dosa menjadi penyebab permusuhan sehingga dibutuhkan pendamaian. Untuk pendamaian itulah maka dalam Perjanjian Lama ada praktik korban persembahan dalam bentuk korban hewan. Sedangkan dalam Perjanjian Baru, korban pendamaian itu adalah Yesus Kristus. Jadi, teologi pendamaian adalah studi tentang rekonsiliasi hubungan antara manusia dan Allah, sesame dan lingkungan.
B. Sumber Pendamaian
John Murray menyatakan: “pernyataan kasih Allah merupakan penyebab atau sumber pendamaian”. Kasih Allah harus memakai pendamaian untuk merealisasikan hasil akhir dan menggenapkan maksud-Nya yaitu melalui pengorbanan Anak-Nya yang telah menumpahkan darah yang mulia (John Murray, 2010:5)
Anselmus dari Canterbury bertanya: “Apakah keharusan dan alasannya untuk melakukan restorasi/pendamaian ini? Ia menjawab bahwa Allah yang Maha kuasa mengenakan natur manusia yang rendah dan lemah untuk menjadi pendamaian antara Allah dan manusia serta alam semesta (Hugh Martin, 1987:19)
Jadi, sumber pendamaian adalah kasih Allah. Di dalam Allah tidak ada kekacauan, permusuhan, perselisihan, pemberontakan. Dengan demikian sumber pendamaian adalah Allah. Untuk mewujudkan pendamaian itu maka Allah mengutus anak-Nya untuk memenuhi kebutuhan manusia akan pendamaian dengan Allah, sesame dan lingkungan. Selain itu, pendamaian itu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui karya Roh Kudus. Berdasarkan Efesus 1:20 maka sumber pendamaian adalah Yesus Kristus, dan Efesus 2:14-17 Karena Dialah damai sejahtra kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan …
C. Dasar Pendamaian
Dalam Roma 5:10 Paulus menyatakan bahwa yang menjadi dasar pendamaian antara Allah dan manusia adalah Yesus Kristus. Paulus menyatakan: “Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamtkan oleh hidup-Nya.” Ayat selanjutnya menyatakan , … sebab oleh Dia kita telah menerima pendamaian itu” (Rom. 5:11).
Berdasarkan firman Tuhan di atas maka dapat dikatakan bahwa dasar pendamaian manusia berdosa dengan Allah adalah Kristus. Paulus menyatakan “sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus”. (Rom. 5:1)
Dalam Efesus 2:13 Paulus mendasari dasar pendamaian pada Karya Yesus Kristus dengan rujukannya pada darah Kristus. Yesus adalah damai sejahtera orang yang percaya kepada-Nya. Yesus Kristus itu telah mempersatukan kedua belah pihak dan yang telah merobohkan tembok pemisah yaitu perseteruan
D. Mediator Pendamaian
a. Dia adalah Gambar Allah
Kolose 1:15-20 memaparkan Kristus dan pekerjaan-Nya. Pokok yang menjadi perhatian dalam perikop ini yaitu Kristus adalah penting atau lebih utama dari segala sesuatu. Dalam teks ini mendeskripsikan tentang apa yang dilakukan , yaitu Kristus turut hadir dalam penciptaan alam semesta, dan Kristus juga yang mendamaikan segala sesuatu dengan Allah. Kesaksian demikian membuat para ahli menyebut ayat 15-20 sebagai sebuah nyanyian atau “kidung” yang menggambarkan tentang pribadi dan karya Kristus. Tidak dapat dipastikan apakah nyanyian ini dikarang oleh Rasul Paulus dalam surat ini (Robert G. Bratcher dan Eugene A. Nida, 2002:22)
Menurut Dunn, Kolose 1:15-20 dalam pengertian tertentu memang bisa disebut “himne Kristus”, namun tidak boleh dimengerti sebagai “himne bagi Kristus” karena sebenarnya himne ini tidak dimaksudkan sebagai pemujaan terhadap Kristus, tetapi pemujaan terhadap Allah karena Kristus.( James D.G. Dunn, 2010:41). Larry R. Helyer menyatakan isu mengenai asal usul “himne Kristus”, dalam Kolose 1:15-20, dapat dihubungkan dengan Paulus. Artinya komposisi hymne berasal dari Paulus. Dengan kata lain, menurut Heyler, asal-usul “himne Kristus”dalam Kolose 1:15-20, Helyer percaya bahwa keseluruhan komposisinya berasal dari Paulus (Robert G. Bratcher dan Eugene A. Nida, 2002:22)
Frasa “Gambar Allah” dalam teks yang lain yaitu 2 Kor. 4:4, Yesus Kristus disebut sebagai gambar Allah. Hal yang hendak disampaikan dalam teks ini yakni dalam Kristus manusia dapat melihat/ mengetahui bagaimana kehendak dan sifat-sifat Allah. Dalam konteks ini yang dtekankan adalah keserupaan kehendak dan sifat-sifat Allah dengan Kristus, bukan keadaan fisik yang dapat dilihat (Robert G. Bratcher dan Eugene A. Nida, 2002:22)
Menurut Ridderbos Kristus sebagai gambar Allah mempresentasikan ulasan yang lebih bersifat sintesis, yaitu kesimpulan menyeluruh atas lontaran-lontaran Paulus mengenai topik ini dalam sejumlah teks dalam surat-suratnya. Dari sekian banyak teks yang berbicara mengenai topik ini, Ridderbos memberi perhatian khusus terhadap 2 Korintus 4:4; Kolose 15; dan Filipi 2:6. Menurut Ridderbos, teks-teks ini mengggemakan tema penciptaan dalam Kejadian 1 dan yang ia sebut sebagai “theologi Adam”. Melalui pengungkapannya mengenai “gambar Allah” bagi Kristus, Paulus mengajarkan tentang kemuliaan Kristus dan bahwa Kristus telah menyandang “praeksistensi-Nya bersama Allah, sebelum Ia menyatakan diri untuk melakuan karya penebusan”. Di sini, Ridderbos menolak pandangan sejumlah sarjana yang merujuk latar belakangnya pada pandangan Gnostik atau pun pandangan Philo mengenai “gambar Allah” (Ridderbos, 64)
Mungkin saja timbul pengertian yang salah jika “gambar” diterjemahkan secara harfiah, karena istilah “gambar” dapat ditafsirkan sebagai berhala atau gambar (patung orang suci. Karena itu, istilah dapat juga diterjemahkan sebagai “keserupaan” atau “yang menyerupai”, “yang seperti”.( Robert G. Bratcher dan Eugene A. Nida, 2002:22)
Istilah tidak kelihatan menunjuk kepada Allah. Untuk menunjukkan bahwa Kristus adalah gambar yang kelihatan dari Allah yang tidak kelihatan, maka kita dapat mengungkapkannya sebagai berikut: “Allah tidak dapat dilihat, tetapi sifat-sifat-Nya dapat dilihat dengan nyata alam Kristus” atau dalam bentuk aktif “Orang tidak dapat melihat Allah tetapi dat melihat/mengetahui/mengalami sifat-sifat-Nya sevara nyata dalam Kristus”. Untuk mengenal bahasa-bahasa yang mengenal perbedaan bentuk bahasa kala lampau, kala kini dan kala mendatang, seperti bahasa Inggris, kadang-kadang perlu digunakan bentuk yang menyatakan kala lampau untuk berbicara tentang Kristus yang kelihatan selama kkehidupan-Nya di dunia. Dengan demikian bagian pertama ayat 15 dapat ditemahkan sebagai berikut: “Orang tidak dapat melihat Allah (dulu, sekarang dan pada waktu yang akan datang), tetapi dahulu orang dat mgeahui sifat-sifat-Nya dengan nyata ketika orang (dahulu) melihat/mengenal Kristus”.(Ibid)
b. Dia Adalah Yang Sulung Dari Segala Sesuatu Yang Diciptakan
Frasa yang sulung dari segala yang diciptakan yang dikenakan kepada Kristus merupakan terjemahan dari ungkapan Yunani yang terdiri dari tiga kata dan berarti “yang sulung dari segala ciptaan”. Terjemahan harfiah demikian dapat menimbulkan arti bahwa Yesus Kristus termasuk dalam alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan.(Ibid)
Pengertian sebagaimana yang dimaksud di atas tidak dapat dipertahankan. Alasannya yakni dari pertimbangan konteks dari teks ini. Dengan kata lain tidak sesuai dengan konteks seluruh bagian ini. Ungkapan yang sulung merupakan sebuah kata majemuk dalam bahasa Yunani yang kalau dijemahkan secara harfiah berarti “yang pertama dilahirkan”. Oleh karena itu yang sulung dapat dipandang dari segi waktu. Dengan demikian yang sulung juga berarti: “Ia ada sebelum segala ciptaan”(Ibid).
Pendapat diatas juga didukung dengan beberapa pandangan seperti, Bruce Metzger, ia menyatakan frasa yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptkan tidak diartikan seakan-akan Paulus membicarakan Yesus sebagai makhluk yang diciptakan paling awal dari segala makhluk lainnya. Metzger menganalogikan bahwa orang percaya menggunakan istilah “memperanakkan” untuk membedakannya dari “menciptakan”. Istilah “memperanakkan” mengkonotasikan hasil yang secara esensial sama dengan yang memperanakkannya. Sementara “menciptakan” tidak mengharuskan konotasi ini. Itulah sebabnya, Metzger menulis, “Apa yang dilahirkan Allah pasti adalah Allah; sebagaimana manusia melahirkan manusia. Apa yang diciptakan Allah pasti bukan Allah; sebagaimana apa yang dibuat manusia pasti bukan manusia itu sendiri.”(Ibid)
Penolakan pemahaman teologis berdasarkan Kolose yang menyatakan bahwa Kristus adalah bagian dari ciptaan ditolak oleh Murray J. Harris, menurut Harris, gagasan bahwa Yesus adalah ciptaan yang pertama berdasarkan penggunaan frasa “yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan hendak menegaskan gagasan pra eksistensi Yesus yang terkandung dalam penggunaan istilah yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan bagi Kristus (Murray J. Harris, 2010: 40) dalam Kolose 1:15. Jadi farasa ini tidak bermaksud bahwa Kristus adalah bagian dari ciptaan.
Mengenai Kristus sebagai yang sulung dari segala yang diciptakan, Ridderbos kembali mengaitkannya dengan Kejadian 1. Meski demikian, bila mayoritas sarjana mengaitkan lontaran Paulus dalam Kolose 1:15 ini dengan personifikasi hikmat dalam Amsal 8 dan juga tulisan-tulisan Yahudi Intertestamental, Ridderbos agak berhati-hati untuk mengikuti kesimpulan ini. Bagi Ridderbos, hubungan ini memang bisa dibangun secara terminologis berdasarkan pandangan bidat di Kolose yang merasa memiliki pengetahuan dan hikmat sejati. Dengan demikian, Paulus berkesempatan untuk memperlihatkan hubungan tertentu antara hikmat PL dengan Kristus untuk menolak tendensi bidat di Kolose. Namun secara esensial, menurut Ridderbos, Kolose 1:15-20 bernada agak umum dan hubungannya dengan hikmat PL menjadi kelihatan semu. Hikmat dalam PL merupakan personifikasi dan dibicarakan sebagai ciptaan. Sementara tidak demikian halnya dengan Kristus yang adalah Pribadi dan Pencipta. Itulah sebabnya, Ridderbos menganggap lebih dekat hubungan antara teologi Adam dengan Kristus, ketimbang dengan hikmat dalam PL. Bahkan dalam bagian ini, Paulus tampaknya berbicara tentang Kristus dalam nuansa “Adamitis ganda” (Kristus sebagai Yang Pertama dari segala ciptaan dan sebagai Adam terakhir). Jadi, bagi Ridderbos, baik Kristus sebagai gambar Allah maupun Kristus sebagai yang sulung dari segala yang diciptakan mengasumsikan pra eksistensi ilahi Yesus dengan merujuk kepada Kejadian 1, khususnya perbandingan dengan gambaran mengenai Adam (Ridderbos)
Menurut sebagian ahli Perjanjian Baru, frasa “yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan” dapat berarti Dia ada sebelum segala sesuatu ada, dan Dia adalah yang utama dari semua ciptaan. Yang dimaksud dengan yang sulung atau anak yang sulung (BIS) di sini tidak menunjuk kepada kelahiran Yesus sebagai badani, melainkan kepada hubungan Yesus dengan Allah sebagai Anak yang kekal, pewaris Bapa yang di surga. Berbeda pada manusia mada umumnya, hubungan Yesus dengan Allah tidak dibnyatakan sebagai ciptaan dan pencipta. Yang sulung dalam konteks ini tidak berarti bahwa sesudah Krisus, ada orang-orang lain yang “diperanakkan” dengan cara yang sama, istilah itu menekankan kedudukan Yesus sebagai pewaris Bapa-Nya yang di surga.(Ridderbos: 78-80). Jadi, hal yang perlu diperhatikan disini yakni kata “diperanakkan” atau “dilahirkan” yang dikenakan kepada Yesus Kristus tidak menyatakan bahwa Kristus adalah ciptaan. Dikatakan demikian karena Kristus tidak diciptakan, melainkan Kristus telah ada lebih dahulu sebelum segala sesuatu ada. Oleh karena itu maka terjemahan bahwa Kristus sebagai “anak sulung (atau pewaris) Allah, yang ada sebelum segala ciptaan dapat juga diungkapkan dalam terjemahan seperti: “Ia lebih penting dari segala yang diciptakan”, atau “... lebih tinggi/agung dari segala ciptaan”.( Robert G. Bratcher dan Eugene A. Nida, 23)
c. Di Dalam Dia Telah Diciptakan Segala Sesuatu
Kata depan Yunani yang diterjemahkan di dalam dapat dimengerti sebagai sarana atau alat, atau pelaku perantara, sehingga artinya menjadi “dengan perabntaraan Dia”, “melalui Dia” (bdk. Kol. 1:14). Artinya Allah menciptakan segala sesuatu tidak terpisah dari Kristus. Jadi secara negatif dapat dikatakan seperti Yohanes 1:3 “tak satu pun dijadikan tanpa Dia (Robert G. Bratcher dan Eugene A. Nida, 23).
Terjemahan melalui Dialah menciptakan segala sesuatu menimbulkan persoalan tersendiri mengenai siapa yang menjadi pelaku utama dalam penciptaan. Bentuk pasif dari bahasa Yunaninya yang diterjemahkan dalam penciptaan. Bentuk pasif dari bahasa Yunaninya yang diterjemahkan dalam TB menjadi dalam Dialah dicptakan segala sesuatu, memberikan kesan yang kuat bahwa pelaku utama dalam ciptaan adalah Allah sendiri. Yang menjadi pertanyaan ialah apa hubungan pencptaan dengan Krist? Atau apa peran Kristus dalam penciptaan? Sebagian penafsir menterjemahkan sebagai “Allah bersama Kristus menciptakan segala sesuatu”. Ada juga yang menterjemahkannya dengan bentuk kiasan, misalnya :Kristus adalah tangan Allah dalam menciptakan segala sesuatu”. Ungkapan ini, “melalui Dia” atau “melalui Kristus”, mungkin lebih mudah dimengert kalau dibandingkan dengan Efesus 1:4. Dalam ayat ini jelas, bahwa yang “memilih kita” adalah Allah, tetapi yang melaksanakan pemilihan ialag Kristus. Segala sesuatu yang ada di surga dan yang ada di bumi. Ini tidak berarti “semua sekaligus yang ada di surga dan di atas bumi”. Bagian ke dua dari ungkapan di atas, sebenarnya berfungsi untuk mengulangi dan mempertegas apa yang disebutkan dalam ungkapan yang disepannya, karena yang ada di surga dan yang ada di bumi, sama juga artinya dengan segala sesuatu.( Robert G. Bratcher dan Eugene A. Nida)
Untuk menterjemahkan segala sesuatu harus dipilih ungkapan yang tidak membatasi artinya pada benda-benda mati saja. Seba kalimat selanjutnya dengan jeas mengikutsertakan juga kuasa-kuasa rohani yang dianggap memiliki ciri-ciri kepribadian tertentu. (Ibid)
Yang kelihatan dan yang tidak kelihatan dapat diterjemahkan sebagai “apa yang dapat di lihat dan apa yang tidaka dapat dilihat”, atau “apa yang dapat dilihat orang dan apa yang tidak dapat dilihat orrang”. (ibid)
Kita tidak perlu memakai empat sebutan yang berbdesauntuk meyebut mahluk-mahluk ini (bdk. BIS dengan TB; BIS hanya menterjemahkan dengan segala roh yang berkuasa dan memerinyah, sedangkan TB mencoba membedakan mereka dengan memakai empat istilah yang berbeda singgasana, kerajaan, pemerintah, penguasa). Lingkungan dimana segala roh ini bekerja kadang penting juga disebutkan. Karena itu kita dapat menambahkan sesuatu tentang lingkungan tersebut, misalnya “di wilayah antara langit dan bumi”, sebab di dunia kuno roh-roh seperti itu berkuasa di atas bumi. (Ibid)
Kalimat yang terakhir dalam ayat ini merangkum/mencakup pemikiran yang terdapat pada bagian pertamanya, segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Kalimat ini dapat diterjemahkan sebagai kalimat aktif, misalnya: ‘Allah meciptakan segala sesuatu melalui Kristus, dan untuk Kristus:. Ungkapan untuk Dia di sini tidak sepenuhnyamengungkjapkan arti kata Yunani yang menyatakan tujuan atau maksud. Sebenarnya maksudnya adalah bahwa seluruh ciptaan menemukan maksud dan tujuan akhirnya dalam Kristus. Untuk itu terjemahan yang paling dekat artinya adalah: “tujuan segala sesuatu adalah untuk memuliakan Kristus”.(Ibid)
d. Ia Ada Terlebih Dahulu Dari Segala Sesuatu
Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu. Ungkapan ini diterjemahkan dalam BIS menjadi terlebih dahulu dapat menyatakan suatu kedudukan “yang lebih utama dari”, dalamayat ini tampaknya lebih mungkin kata itu dilihat dari segi waktu dengan arti “sebelum”. Ungkapan ini sekaligus menyatakan bahwa Kristus tidak mempunyai p ulaan, dan dapat juga diterjemahkan menjadi: “Kristus ada sebelum segala sesuatu ada” atau “Kristus ada/hadir sebelum segala sesuatu diciptakan (oleh Allah)”. Perlu ditegaskan bahwa ini tidak berarti bahwa ada waktu di mana Kristus “tidak ada’.(Ibid)
e. Segala Sesuatu Ada Di Dalam Dia
Kata kerja Yunani yang diterjemahkan menjadi segala sesuatu ada di dalam Dia mengandung beberapa hal, yaitu: segala sesuatu mendapat tempat yang selaras, sesuai, serasi, tetap, yakni menyatakan kekuatan yang menyatukan. Dalam seluruh ciptaan ada keselarasan dan ketertiban, dan Kristuslah yang menyatukan segala ciptaan, kita dapat mengatakan “segala sesuatu saling bersesuaian karena Kristus”, atau “Kristuslah yang menyebabkan segala sesuatu saling berseuaian”. Dalam beberapa bahasa, ungkapan “saling bersesuaian” sering dikaitkan dengan perabot rumah tangga yang letaknya rapi dan teratur, sehingga kita dapat pula mengatakan “segala sesuatu ada pada tempatbnya”.(Ibid)
f. Dialah Kepala Tubuh Yaitu Jemaat
Penggunaan metafora “kepala” bagi Kristus yang digunakan dalam ayat 18a mengandung dua pengertian yang saling berhubungan erat, yaitu “kepala” (menekankan tentang otoritas) dan “sumber” (menekankan tentang asal usul). Kedua pengertian ini ketika dipadukan, akan memimpin kepada gagasan mengenai keutamaan. Itulah sebabnya, Best mengomentari metafora ini, demikian: “Kehidupan Gereja merupakan sebuah kehidupan baru, bukan kehidupan lama atau penciptaan lama, melainkan kehidupan dari Penciptaan Baru, yang didapatkan melalui salib dan kebangkitan-Nya. Maka Dia adalah yang paling utama di atas segala sesuatu.”( Best, One Body in Christ, 129-130)
Penggunaan metofora di atas dapat dipahami karena dari hubungan Kristus dengan ciptaan, Rasul Paulus beralih kepada hubungan Kristus dengan jemaat. Ayat ini dimulai dengan Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat. Istilah kepala mengandung makna tentang kuasa, pemerintahan, wewenang (lihat Ef. 1:22-23). Kiasan “kepada dari tubuh” menyatakan keutamaan Kristus dan kesatuan orang-orang Kristen selaku milik Kristus. Untuk menyatakan bahwa tubuh yang dimaksud adalah tubuh Kristus maka sebaiknya diterjemahkan seperti BIS, yaitu dengan menambahkan kata “-Nya”, sehingga menjadi tubuh-Nya.( Robert G. Bratcher dan Eugene A. Nida, 25)
Terjemahan harfiah dari Ialag kepala dari tubuh-Nya boleh jadi terasa janggal atau bahkan menggelikan dalam bahasa tertentu. Untuk itu kita dapat mengubah susunan kalimat ini sehingga istilah “kepala” menerangkan istilah “jemaat”, misalnya :Dialah kepala dari jemaat yang adalah tubuh-Nya”. Dalam bahasa-bahasa tertentu istilah “kepala” tidak mungkin digunakan untuk menyatakan keutamaan atau penguasaan atas sesuatu. Karena itu kita dapat menterjemahkannya dengan “Ialah.Kristuslah yang memerintah jemaat yang adalah tuhn-Nya”. Penerjemah dapat memakai kata “Ia-lah” atau “Kristuslah”, menurut apa yang dianggap paling wajar dan jelas. Penerjemah juga boleh mengubah metafora dalam kalimat ini menjadi sebuah ibarat. “Kristuslah yang paling berkuasa atas jemaat-Nya, sama seperti kepala berkuasa atas tubuh”(Ibid)
Ialah sumber kehidupan merupakan terjemahan dari bahasa Yunani yang berarti “Ialah asal mula” (atau sumber). Dalam TB kata-kata Yunani tersebut tidak diterjemahkan. Jadi penerjemah harus melengkapinya seperti BIS. Ada dua pertanyaan yang muncul sehuvubgan dengan ungkapan di atas:
(1) Apakah “sumber kehidupan” yang dimaksud berkenaan dengan ciptaan atau jemaat? Umumnya jawaban atas pertanyaan ini ialah bahwa jemaatlah yang dimaksudkan di sini.
(2) Bagaimana hubungannya dengan jemaat?
Dalam hal ini, pandangan bahwa Ialah (Kristus) sumber kehidupan jemaat itu lebih sesuai dengan kepercayaan yang umumnya pada waktu itu, yakni kehidupan dan sumber makanan yang memelihara tubuh berasal dari kepala.
g. Ia Yang Pertama Bangkit Dari Antara Orang Mati
Yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati atau dalam BIS Anak yang sulung, yang pertama-tama dihidupkan kembali dari kematian. Untuk sebutan anak yang sulung lihat ayat 15 (“yang sulung”). Barangkali karena Kristuslah yang pertama bangkit dari kematian, maka dalam ayat ini disebutkan bahwa Kristuslah merupakan sumber kehidupan tubuh-Nya.
Apanila kita menterjemahkan yang sulung senagai “anak pertama”, kita perlu memberi keterangan lebih lanjut, misalnya “yang dibangkitkan dari kematian”. Tetapi jangan memberi kesan bahwa Kristus hanyalah “anak pertama yang dibangkitkan dari kematian”, seakan-akan ada anak yang lain juga “dibangkitkan dari kematian”. Untuyk menghindari salah pengertian seperti itu, kita mungkin perlu menerjemahkan sebagai “Ialah anak sulung Allah;Allah membangkitkan Dia dari kematian”. Dalam bahasa-bahasa tertentu kita tidak dapat berbicara tentang kebangkitan dengan hanya mengatakan “dibangkitkan dari kematian”. Terkadang kita dapat mengungkapkannya sebagai berikut : “Allah menyebabkan Dia hidup kembali”, atau Allah memberikan nyawan-Nya kembali kepada-Nya”, atau bahkan “Allah menyebabkan nyawa-Nya kembali kepada-Nya”.(Ibid)
Yang lebih utama, dapat pula diungkapkan sebagai “ada di atas segala sesuatu”, atau “menduduki tempat tertinggi” atau “memegang wewenang tertinggi”.Dalam segala sesuatu: berarti mencakup segala segi kehidupan. Dalam bahasa-bahasa tertentu kita harus menterjemahkannya sebagai “di atas segala sesuatu”(Ibid, 26)
Objek Pendamaian
Dalam bahasa Yunani tidak terputus dri ayat 19, dimulai dengan kata memperdamaikan yang masih berkaitan dengan kata kerja “berkenan” dalam ayat 19. Oleh Dialah yang memperdamaikan.
Ada dua hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan kata memperdamaikan:
(1). Pertama, menyangkut keadaan tidak damai atau permusuhan antara ciptaan dn penciptanya, yang dinyatakan dengan jelas dlam PB dan secara tersirat dalam ayat ini. Ciptaan (termasuk segala yang bernyawa dan tidak bernyawa menurut pandangan Alkitab) telah terasing dari Allah. Allah sendiri tidak terasing, Ia tidak perlu diperdanmaikan.
(2). Kedua, Allahlah yang mengambil prakarsa atau memulai usaha, melalui Anak-Nya, mengadakan pendamaian dengan manusia. Salah satu ciptaan, yaitu manusia yang berdosa, merupakan obyek karya perdamaian Allah.(Robert G. Bratcher dan Eugene A.Nida, 2002:28)
Ada beberapa masalah yang sulit dalam upaya mengingkapkan pengertian “mendamaikan” secara memuaskan. Ada pandangan yang salah bahwa orang yang pertama berusaha mengadakan pendamaian, sering dianggap telah mengakui kesalahannya. Oleh karena itu orang itu merasa bertanggungjawab atas putusnya hubungan sebelumnya. Jadi untuk memulihkan huibungan itu, ialah yang pertama berusaha mengadakan pendamaian. Pandangan seperti ini tidak mungkin berlaku bagi Allah walaupun usaha pendamaian itu berasal dari Allah, akarena Allah tidak pernah berbuiat kesalahan terhadap manusia. Dalam bahasa-bahasa tertentu di Afrika, istilah yang lebih cocok untuk pendamaian adalah istilah yang biasanya dipakai untuk menyatakan suami yang rujuk dengan istrinya. Sebab biasanyua di daerah tertentu di Afrika, istrilah yang dianggap sebagai penyebab putusnya hubungan mereka. Ada lagi masalah-masalah yang lain apabila istilah yang mengungkapkan pengertian pendamaian memberi kesan bahwa kedua pihak (Allah dan manusia) sama-sama sudah melakukan kesalahan. Padahaal yang berusaha di sini adalah manusia, bukan Allah. Untuk itu lebih baik kita menggunakan beberapa kata yang mengungkapkan pengertian pendamaian dengan jelas daripada menggunakan satu istilah yang lajim namun dapat membuiat orang salah mengerti.(Ibid)
Memperdamaikan segala sesuatu dengan diri Yesus Kristus dapat diungkapkan dalam beberapa bahasa sebagai berikut: “ menyebabkan seluruh alam kembali kepada diri-Nya, atau dengan menggunakan ungkapan seperti “menyebabkan seluruh alam besahabat kembali dengan Dia”. Pendamaian itu dapat pula diungkapkan dalam hubungan dengan keterasingan, misalnya, “Allah dengan segala senang hati, membuat seluruh alam tidak terasing lagi dari Allah”. (Ibid)
Dengan diri-Nya berarti dengan Allah. Walaupun dalam teks Yunani terdapat kata ganti “Dia” (yang dapat berarti “Kristus”) hampir semua tafsiran dari terjemahan menerima bahwa “Dia” di sini menunjuk kepada Allah. (Ibid)
Pendamaian itu terlaksana oleh darah salib Kristus. Terjemahan harfiahnya adalah “melalui darah salib-Nya”. Ungkapan ini menunjuk keada kematian Kristus di kayu Salib. Ada keberatan-keberatan dengan penggunaan kata “kematian” sebagai terjemahan kata “darah” karena:
(1) Kata “kematian” tidak menggambarkan cara mati yang penuh kekerasan di
kayu salib.
(2) Dalam PL, darah merupakan kurban penebusan dosa (Imamat 4). Dapat diyakini bahwa kurab septi itulah yang dimaksud dalam ayat ini. Sebaiknya penerjemah memasukkan makna yang tersirat ini dalam terjemahannya. Dalam bahasa Indonesia, “darah-Nya tertumpah”, sama juga artinya dengan “mati”, sehingga kebiasaan tersebuit dapat dipakai di sini. Jadi ayat ini dapat diterjemahkan menjadi: Allah membuat pendamaian itu melalui darah Kristus yang tertumpah di kayu salib sebagai kurban. Pendamaian yang dimaksudkan ialah pemulihan persekutuan antara Allah dan manusia, bahkan seluruh ciptaan, yang terpustus oleh karena dosa.(Ibid)
Jadi objek yang didamaikan adalah: Allah, Manusia, Alam semesta. Kristus sebagai mediator pendamaian antara Allah dengan manusia serta lingkungan/alam semesta.
Baca juga:(maaf linknya saya hapus, sedang pemeliharaan blog)
1. Karya Allah Tritunggal Melalui Gereja Pentakosta
2. Memahami Puasa dalam Iman Kristen